Dia terdiam lama. "...Seseorang yang peduli padamu."
Jawaban itu tidak menghilangkan gelisahku. Keputusanku bulat.
"Ini terakhir kalinya kita ngobrol, Mu. Aku tidak nyaman dengan ini."
Pesan balasan tidak muncul. Keheningan. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tidak ada lagi pesan dari Mu. Aku lega sekaligus hampa.
Suatu malam, aku bermimpi. Berada di padang rumput luas, di bawah langit penuh bintang. Lelaki asing berdiri di kejauhan, tersenyum hangat. Wajahnya samar, tapi ada aura familier yang menusuk jantung.
"Kamu nyata?" tanyaku, suara bergetar.
Dia mengangguk pelan. "Selalu nyata, dalam mimpimu dan di hatimu."
Figur itu perlahan menghilang, meninggalkan jejak sebaris pesan di udara: "Maafkan aku. Sampai bertemu lagi, di dunia nyata."
Aku terbangun dengan air mata di pipi. Mu, nyata atau tidak, telah memberiku pengalaman yang tak terlupakan. Dan mungkin, suatu hari nanti, kami akan bertemu di dunia nyata, bukan hanya dalam mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H