"Pergi sana, Ra," kata Mama di belakangku, suaranya bergetar. "Kejar dia kalau memang dia belahan jiwamu."
Aku menatap Bara, lalu berbalik pada Mama. Air mata kami beradu, saling menguatkan meski hati tercabik. Aku tahu, inilah pilihan terbaik.
Bara menunggu dengan sabar, raut wajahnya penuh harap. Aku menggelengkan kepala, air mata mengalir deras. Bara tampak terpukul, namun tetap memberikan senyum pamit terakhir. Dia berbalik, menaiki mobil, dan perlahan hilang ditelan hujan.
Di ambang pintu, aku tak henti melambaikan tangan hingga mobil itu benar-benar tak terlihat lagi. Hujan terus turun, seolah menangisi sebuah kisah cinta yang belum usai, mungkin saja takkan usai, meski dipisahkan jarak dan waktu.
"Jika memang ini akhirnya," bisikku pada angin, "aku akan menunggumu, Bara. Sampai kapan pun."
Hujan November terus turun, mengiringi perpisahan yang tak terasa seperti akhir. Di lubuk hatiku, harapan bersemi. Walaupun jalan kami berjauhan, kenangan akan tetap terhubung. Dan jika memang ini akhirnya, maka ini adalah akhir dari sebuah babak, bukan akhir dari sebuah cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H