Mohon tunggu...
Rafif Ahmad Fadilah
Rafif Ahmad Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Saya memiliki hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Pertama

6 Februari 2024   16:17 Diperbarui: 6 Februari 2024   16:23 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kertas putih bersih tergeletak di meja, pena dengan tinta biru menari-nari gelisah di tangan Ella. Ini bukan tugas sekolah, bukan karya sastra, ini sesuatu yang jauh lebih personal - surat pertamanya untuk Gilang.

Ella dan Gilang duduk bersebelahan di kelas, tapi komunikasi mereka sebatas tatapan, senyum simpul, dan gelegar tawa tertahan. Keberanian untuk bicara langsung masih terkurung di balik tembok tebal. Maka, sebuah surat pun menjadi perantaranya.

Ella menggigit bibir. Apa yang harus ditulis? Menuangkan isi hati terasa terlalu gegabah, tapi basa-basi pun terasa hambar. Akhirnya, dengan hati-hati, dia menuliskan hal-hal sederhana. Kesan pertama melihat Gilang, buku yang mereka sama-sama suka, film yang baru ditonton, dan pertanyaan sederhana, "Apa cita-citamu, Gilang?"

Baca juga: Sweater Terhangat

Surat itu dilipat rapi, diselipkan di sampul buku Gilang saat jam istirahat. De jantung Ella berpacu seperti kelinci dikejar anjing. Dia berharap Gilang membacanya, tapi juga takut melihat reaksinya.

Hari berganti hari, rasa penasaran menggerogoti Ella. Gilang tak memberi tanda apapun. Apakah tak membaca suratnya? Atau... tak tertarik membalas? Kekecewaan mulai menyergap, tapi tiba-tiba, saat sedang membaca di perpustakaan, sebuah buku ditaruh di depannya. Gilang berdiri di sana, tersenyum.

"Aku baca suratmu," katanya, suaranya lembut. "Aku juga suka buku itu, film itu... dan ingin sekali tahu kenapa kamu menyukai hal-hal tersebut."

Ella terkesima. Ini balasannya! Rasa gugup kembali menyergap, tapi senyum Gilang membuatnya tenang. Mereka berbincang tentang buku, film, dan cita-cita. Percakapan mengalir lancar, tak lagi ada tembok pembatas.

Surat pertama itu menjadi jembatan. Awal dari pertemanan yang hangat, bahkan mungkin lebih dari itu. Ella menyadari, terkadang, mengungkapkan perasaan dengan cara sederhana justru lebih bermakna. Dan terkadang, keberanian untuk menuliskan kata pertama, bisa membuka pintu ke dunia yang tak terduga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Baca juga: Memulai Awal Baru

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun