Mohon tunggu...
Rafif Ahmad Fadilah
Rafif Ahmad Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Saya memiliki hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sweater Terhangat

5 Februari 2024   09:33 Diperbarui: 5 Februari 2024   09:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Embun pagi menyapa puncak Dieng dengan gigitan lembut. Angin berdesir di antara ilalang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Di tengah hamparan perbukitan hijau, berdiri seorang gadis bernama Rara, kedua tangannya memeluk tubuh erat-erat. Dinginnya udara Dieng pagi hari seolah tak mempan dengan jaket tipis yang dikenakannya.

Rara baru saja tiba di Dieng untuk mengikuti pentas seni budaya. Penampilannya malam nanti sebagai penari topeng menjadi beban tersendiri. Dinginnya udara membuat otot-ototnya menegang, khawatir tak bisa menampilkan gerakan tari dengan luwes. Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Di pinggir jalan, ada seorang ibu tua renta duduk di atas tikar lusuh, menawarkan berbagai rajutan hasil tangannya.

Rara mendekati sang ibu, matanya tertarik pada sebuah sweter berwarna krem. Benang wolnya terlihat tebal dan halus, dihiasi motif bunga-bunga kecil berwarna pastel. Tanpa pikir panjang, Rara membeli sweter itu. Harganya murah, tapi kehangatan yang dipancarkannya langsung terasa begitu dikenakan.

Malam menjelang. Pentas seni dimulai. Rara melangkah ke panggung, sorot lampu panggung meneranginya. Mengenakan sweter pemberian ibu tua tadi, Rara tak lagi merasakan dingin. Gerakannya terasa lebih luwes, energinya seolah mengalir seiring alunan musik. Penonton terkesiap, terhipnotis oleh kelincahan dan ekspresi Rara yang begitu hidup.

Penampilan Rara malam itu sukses besar. Tepuk tangan meriah menggema di seluruh penjuru pentas. Namun, yang paling membuat Rara terharu adalah sorotan mata bangga dari sang ibu tua yang duduk di barisan paling depan. Ibu itu tersenyum hangat, seolah ikut merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang dirasakan Rara.

Selepas pentas, Rara menghampiri sang ibu tua. "Terima kasih, Bu," ucapnya tulus. "Sweater ini memberi saya lebih dari kehangatan. Ini memberi saya keberanian dan semangat."

Baca juga: Surat yang Berlalu

Sang ibu tua membalas dengan senyuman. "Nak, kehangatan yang sesungguhnya bukan hanya berasal dari benang wol," tuturnya lembut. "Tapi dari ketulusan dan harapan yang dirajut bersama."

Rara tersadar. Kehangatan sweter itu tak hanya datang dari benangnya, tapi juga dari kebaikan hati sang ibu yang merajutnya dengan penuh cinta. Sejak saat itu, Rara tak hanya mengingat pentas seni yang sukses, tapi juga pelajaran tentang kehangatan sejati yang tak lekang oleh waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun