Mohon tunggu...
Rafif Ahmad Fadilah
Rafif Ahmad Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Saya memiliki hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesederhanaan Bermula dari Anakku

1 Februari 2024   13:54 Diperbarui: 1 Februari 2024   14:03 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidupku bagaikan benang kusut - penuh ambisi, kejar jabatan, dan mimpi harta berlimpah. Hari-hariku dihabiskan mengejar bayangan kebahagiaan di puncak materialisme. Aku bahkan rela mengorbankan waktu bersama keluarga demi angka-angka di rekening bank.

Suatu sore, langkahku terhenti melihat kelinci lusuh dikerubungi anak-anak kampung. Tawa ceria mereka memecah hening senja, begitu murni dan bebas tanpa beban. Di antara mereka, ada anakku, Nita, dengan gaun lusuh namun senyum lebar. Hatiku teriris. Kebahagiaan yang selama ini aku cari, ternyata ada di depan mata, bukan dalam angka-angka.

Malam harinya, Nita memelukku sambil berbisik, "Ayah, besok belikan kelinci ya? Aku ingin bermain dengan mereka." Permintaan sederhana itu menusuk hatiku. Aku tersadar, aku telah merampas masa kecilnya demi ambisi egois.

Baca juga: Saat Pulang

Keesokan harinya, bukan membeli kelinci, aku mengajak Nita berpiknik di taman kota. Kami berbagi bekal sederhana, berlarian di lapangan luas, dan bercerita hingga matahari terbenam. Tawa Nita yang lepas dan matanya yang berbinar-binar memberiku kebahagiaan tak ternilai.

Mulai saat itu, aku mengubah prioritasku. Aku tetap bekerja, tapi tak lagi gila kerja. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nita, membantunya belajar, bermain, dan berpetualang di alam. Kebersamaan sederhana itulah yang ternyata memberiku kepuasan sejati.

Kami tinggal di rumah sederhana, makan seadanya, namun hati kami penuh. Nita tak pernah mengeluh meski tak punya baju mahal atau mainan mewah. Justru, dia lebih suka membuat permainan sendiri dari barang bekas. Kreativitas dan imajinasinya berkembang pesat.

Suatu hari, Nita memenangkan lomba lukis tingkat nasional. Hadiahnya berupa uang tunai yang cukup besar. Dia menatapku dengan mata berbinar, "Ayah, aku ingin gunakan uang ini untuk membeli perlengkapan melukis anak-anak kampung."

Aku tersenyum bangga. Nita yang tumbuh dalam kesederhanaan justru memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dia tak tergiur kemewahan dan lebih menghargai kebahagiaan orang lain.

Hidupku tak lagi diukur dengan harta, tapi dengan kedekatan keluarga dan kebahagiaan sederhana. Aku tak menyesal meninggalkan kehidupan mewah demi hidup bersahaja bersama Nita.

Kini, aku bersyukur memiliki Nita sebagai guru kehidupan. Dialah yang mengajariku arti kesederhanaan, cinta, dan kebahagiaan sejati. Kesederhanaan yang bermula dari seorang anak, telah mengubahku menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun