Mohon tunggu...
Rafif dan Rafi
Rafif dan Rafi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Generasi muda Indonesia

Masih pemula dalam membuat artikel. Generasi muda yang mencoba melek dengan situasi terkini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kritik Reaksi terhadap Perbedaan

27 April 2022   07:24 Diperbarui: 27 April 2022   08:11 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Opini ini penulis tulis bukan untuk mengklaim diri paling benar. Opini ini ditulis untuk menyalurkan aspirasi dan inspirasi.

Jika ditanya kepada anak SD, "Apa semboyan negara kita?"

"Bhinneka Tunggal Ika!"

"Seratus untuk Ananda semua!"

"Yeeeeay!"

Ya, sejak bangku esede kita diajarkan bahwa semboyan bangsa kita adalah Bhinneka Tunggal Ika yang secara harfiah berarti "berbeda-beda tetap satu jua". Kita juga diminta menghafal sila-sila Pancasila, bahkan ada juga yang menghafal butir-butir nilai Pancasila (jika ditanya kepada orang tua atau Generasi X mungkin mereka mengiyakan).

Sebuah pertanyaan,

"Apakah kita selama ini sekadar menghafalnya?"

Sesuatu yang menjadi prinsip tidak bisa hanya dihafal. Jika kita ingin berpikir lebih jauh lagi, sesuatu yang baik harus diamalkan. Ya, banyak yang bilang ilmu dituntut untuk diamalkan.

Ini sama halnya dengan semboyan bangsa kita,. Secara eksplisit telah tercantum pernyataan bahwa kita sebagai bangsa yang besar harus mampu bersatu di atas berbagai macam perbedaan yang ada. Ada pun secara implisit kita telah dianugerahi berbagai macam perbedaan. Jangankan di dalam masyarakat, walau pun seibu seayah kita tetap memiliki perbedaan dengan saudara kandung kita. Walau pun senenek/kakek kita tetap memiliki perbedaan dengan sepupu kita, dengan paman kita, dengan bibi kita.

"Kita memiliki perbedaan dengan ....", bukan "kita berbeda dengan ....."

Silakan tafsirkan maknanya sendiri

Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sebuah kalimat hafalan

"Ini kan secara nasionalisme?"

Ok, jika ditelusuri dalam konteks agama, Tuhan juga telah mengingatkan kita bahwa kita terlahir dengan perbedaan. Penulis mengutip ayat dari Surah Al-Hujurat ayat 13 yang artinya,
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. ......"

Penulis yakin pada literatur agama lain juga terdapat dalil yang mengajarkan hal yang sama.

Berdasarkan ayat yang penulis kutip, kita terlahir sebagai makhluk yang heterogen untuk mengenal satu sama lain. Kita tidak diciptakan untuk saling mencela, mencaci-maki, menghujat, julid dan lain sebagainya. Kita harus menerima perbedaan dengan bijak.

Bagaimana konteksnya saat ini?

Di zaman kontemporer ini, kita dihadapkan pada situasi ketika perbedaan terkadang menjadi polemik. Perbedaan itu utamanya karena berbeda cara pandang, sikap politik, SARA, unsur identitas dan lain-lain. Terkadang jika ada yang memiliki cara pandang yang beda, kita merasa ngeh atau gatal. Terkadang ada tindakan atau ucapan oknum tertentu yang menuai permasalahan karena interpretasi yang berbeda. Terkadang kita bersikap subjektif dengan hal-hal tersebut.

Dalam konteks agama juga demikian. Ada yang memiliki paham agama yang berbeda, ada yang menganut mazhab atau aliran tertentu, ikut ormas tertentu. Ketika dijumpai suatu konteks, ada yang mengambil pendapat ulama A, ada juga yang mengambil pendapat ulama B yang berbeda dengan ulama A. 

Tak jarang ini menjadi sumber keributan.  Ada sebagian orang yang menyalahkan prinsip penganut mazhab lain, membandingkan ajaran A dan B. Penganut kelompok A berselisih dengan kelompok B dengan melontarkan argumennya masing-masing. Padahal akidahnya sama, padahal beriman dengan pembawa ajaran yang sama.

Esensinya, dalam internal agama sendiri pun terdapat perbedaan-perbedaan yang jika ditelusuri kembali mungkin karena konteks atau pemahaman yang beda. Dari sumber atau literatur yang sama, terdapat berbagai macam penafsiran. Ada yang menafsirkan berdasarkan makna harfiah. Ada yang menafsirkan berdasarkan logika. Ada yang menafsirkan berdasarkan riwayat. Ada yang menafsirkan berdasarkan konteks. Yang lebih bijak lagi, ada yang memadukannya dengan khazanah pengetahuan yang dimiliki dan mengharapkan petunjuk dari Tuhan.

"Agama kan SARA? Jangan membahas SARA!"

Ok, namun jika diambil konteks politik penulis kira tidak bisa dibahas. Mohon maaf

***

 Bagaimana seharusnya kita melihat perbedaan?

Banyak yang mengatakan, "perbedaan itu anugerah". Sampai sekarang kalimat ini belum usang. Jika kita ingin bersikap objektif, kita harus mencoba menemukan "persamaan" di balik perbedaan yang ada. Hal yang baik kita terima dan hal yang buruk pun antara dijauhi atau direnungkan kembali baik buruknya.

Jangan sampai perbedaan menjadikan kita bermusuhan, apalagi jika termakan statement negatif tentang subjek perbedaan tersebut padahal belum kenal lebih banyak. Jika telanjur mengamini statement negatif tentang perbedaan, secara emosional kita akan merasa ngeh atau menolaknya. Seharusnya secara bijak kita menerima subjek perbedaan serta kita harus menjalankan fungsi akal dan hati untuk mempertimbangkan subjek tersebut.

Marilah saling bertoleransi dan menghargai selama itu tidak menjadi ancaman bagi kita!

Marilah kita bersatu di atas perbedaan untuk saling menguatkan dan mem-filter diri dari hal-hal negatif yang dapat membahayakan stabilitas kerukunan kita!

"Bhinneka Tunggal Ika"

(Berbeda tetap satu; Unity in Diversity)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun