Mohon tunggu...
Rafid LeoPratama
Rafid LeoPratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Seorang Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Metode Penanggulangan Aflatoksin Rempah Guna Meningkatkan Nilai Ekspor

27 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 27 Juli 2021   10:32 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Latar Belakang

Aflatoksin adalah salah satu jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh dua jenis jamur, yaitu Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Biasanya kedua jenis jamur ini menyerang berbagai komoditas pertanian, khususnya  pada komoditas rempah-rempah. Kedua mikroba ini memberikan dampak pada komoditas pertanian sehingga komoditas yang diserang tidak bisa dikonsumsi lagi. 

Jika dikonsumsi, aflatoksin akan menyebabkan banyak masalah kesehatan serius bagi manusia dan hewan (Iqbal, 2013). 

Hal ini disebabkan karena aflatkosin memilki sifat karsinogenik, dan bertanggung jawab atas penyakit berbahayCa aflatoxicosis. Biasanya kedua mikroba ini tumbuh dari tanah yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi, suhu yang tinggi, dan biasa menyerang komoditas pertanian di negara-negara tropis dan sub-tropis (Patel et al, 2015).

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,  mengonsumsi bahan makanan yang mengandung aflatoksin berdosis cukup tinggi akan menyebabkan penyakit akut aflatoksikosi dan berdampak pada manifestasi hepatotoksik yang jika dibiarkan akan menyebabkan gagal liver. Fitriana et al (2019) menuturkan bahwa salah satu jenis aflatoksin, yaitu aflatoksin B1, menyebabkan penyakit pada sel makhkluk hidup dengan menginduksi Deoxryibonucleic Acid (DNA), kemudian merusaknya, sehingga timbul gumpalan kanker.  Kanker ini biasanya akan membentuk mutasi transversi yang bisa mengakibatkan terjadi karsinoma.

Racun ini terbilang sulit untuk dihilangkan secara total dari suatu komoditas pertanian. Aini (2012), menuturkan bahwa batas cemaran  aflatoksin dalam suatu bahan pangan adalah 20 ppb. 

Karena itu, untuk membatasi cemaran aflatoksin berlebihan dari rempah-rempah impor, beberapa negara mulai membuat kebijakan dalam menetapkan batasan maksimum kandungan aflatoksin pada rempah-rempah.  Uni eropa menetapkan kandungan maksimum  keseluruhan aflatoksin sebesar 10 mg/kg , dengan aflatoksin B1 sebesar 5 mg/kg. 

Indonesia juga telah menetapkan cemaran maksimum aflatoksin oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sebesar 20 mg/kg , dengan aflatoksin B1 sebesar 15 mg/kg (Fitriana et al, 2019).Berdasarkan latar belakang tesebut, penulis ingin menjabarkan  apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi dan mencegah cemaran aflatoksin berlebihan pada rempah-rempah kita dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas ekspor.

Isi

Cemaran aflatoksin biasanya dapat diamati  pada tanaman yang didatangi fungi dengan warna hijau keabuan. Fungi berbahaya ini dapat dicegah dengan beberapa hal. Usaha yang bisa dilakukan  adalah dengan  memilih dan menggunakan  rempah varietas yang kebal terhadap mikroorganisme berbahaya,  karena dapat meminimalisir resiko rempah yang tercemar. 

Proses pascapanen yang super ketat  juga harus diterapkan sehingga dapat mencegah rempah yang mengandung cemaran. Untuk penyuluh, mereka dapat memberikan pendidikan pascapanen kepada petani dalam proses penyimpanan rempah, seperti menyimpan rempah dalam kondisi kelembaban rendah, mengajari mereka bagaimana melihat rempah yang sudah berjamur atau belum, serta mengenali produk mana yang tercemar, mana yang tidak, supaya  aman untuk dikonsumsi semua orang (Aini, 2012).

Karbondioksida merupakan komponen yang mempengaruhi produksi aflatoksin dalam suatu komoditas tanaman. Dharmaputra (2002)   telah melakukan studi untuk mengetahui efek karbondioksida terhadap produksi aflatoxin pada komoditas jagung.  Penelitian dilakukan dengan  menyegel stok jagung  dan kemasannya yang diberi penambahan karbondioksida, dengan waktu simpan  bervariasi antara 10 hari sampai 4 bulan. 

Sebagai perbandingan, ditambahkan perlakuan kontrol dengan cara penyegelan yang sama, namun tidak diberi perlakuan karbondioksida dan tidak disegel kemasannya.  Setelah dilakukan pengamatan, didapatkan hasil bahwa produksi aflatoxin jagung yang dikemas dan diberikan perlakuan karbondioksida jauh lebih rendah dengan perlakuan kontrol. Ini membuktikan bahwa jika karbondioksida mampu mengurangi produksi aflatoksin pada jagung, maka kemungkinan besar akan berdampak pula pada rempah.

Fosfin juga telah diuji kefektifitasannya terhadap produksi aflatoksin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Dharmaputra (2002)  bertujuan untuk mengamati pertumbuhan miselium  kultur murni A. flavus dan juga aflatoksin yang dihasilkan. 

Konsentrasi fosfin yang dipakai adalah 0,5; 1,5; 2,5; dan 3,5 mg/L. Hasil menunjukkan bahwa fosfin dengan konsentrasi tertentu mampu mengurangi pertumbuhan miselium A. flavus dan juga aflatoksin yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi fosfin yang ditambahkan, maka pertumbuhan miselium A. flavus akan semakin berkurang, begitupula dengan kadar aflatoksinnya. Oleh karena itu, fosfin juga mampu mengurangi kadar aflatoksin pada kultur murni, sehingga juga memiliki potensi untuk menghambat pertumbuhan aflatoksin.

Kadar air adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus atau A. parasiticus dan juga aflatoksin yang dihasilkan. Jika kadar air pada suatu komoditas rempah tinggi, maka akan  berpengaruh  terhadap pertumbuhan jamur berbahaya.Hal ini dapat  mengakibatkan komoditas sudah tidak bisa dikonsumsi lagi akibat toksin yang terkandung, dan juga penampakan rempah yang sudah ditumbuhi jamur.

Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelebihan kadar air pada rempah adalah pengeringan.  Pengeringan dapat dilakukan dengan cara tradisional atau dengan menggunakan alat pengering. Sembiring et al  (2017), menuturkan bahwa pengeringan pada  biji batok pala dan biji pala kupas. Pengeringan kedua bagian pala ini diterpakan agar pala yang diekspor memenuhi standar.

Pengemasan kedap udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur A. flavus atau A. parasiticus dan juga aflatoksin yang dihasilkan. Dharmaputra (2002) telah melakukan suatu penelitian mengenai aflatoksin dengan menyimpan jagung yang sudah beracun dalam kemasan kedap udara. Jagung dikemas dalam  tas polyethylene dengan kondisi kedap udara dan disimpan selama kurang lebih enam bulan.  

Sebagai perbandingan, dilakukan juga perlakuan kontrol tanpa melalui proses pengedapan udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah aflatoksin yang dihasilkan pada jagung yang dikemas secara kedap udara memberikan dampak penurunan yang signifikan terhadap produksi aflatoksin. Ini membuktikan bahwa kondisi kedap udara juga dapat mempengaruhi produksi aflatoksin pada rempah.

Kesimpulan

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

  • Program pascapanen rempah yang diperhatikan dengan baik oleh petani dan pengelola komoditas pertanian akan dapat mengurangi cemaran aflatoksin pada rempah.
  • Tingginya karbon dioksida akan menghambat pertumbuhan A. flavus dan juga aflatoksin yang  dihasilkan.
  • Kadar fosfin yang tinggi juga akan menghambat jumlah aflatoksin yang dihasilkan
  • Pengeringan juga menghambat pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin dikarenakan kadar air sebagai faktor pertumbuhannya dihilangkan.
  • Kemasan yang kedap udara juga membantu menghambat pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin

Daftar Pustaka

Aini, N. 2012. Aflatoksin: Cemaran dan Metode Analisisnya dalam Makanan. Jurnal Kefarmasian Indonesia. 2 (2) : 54-61.

Dharmaputra, O., S. 2002. Review on Aflatoxin in Indonesian Food and Feedstuffs and Their Products. Biotropia. 19 : 26-46.

Fitriana, R., Soesetijo, A., S., dan Sulistyaningsih, E. 2019. Identifikasi Kontaminasi Aflatoksin pada Rempah-rempah yang Dijual di Sentra Pasar di Kabupaten Jember. Multidisciplinary Journal. 2 (1) : 24-29.

Iqbal, S., Z. 2013. Aflatoxins. GC University. Faisalabad

Patel, S., V., Bosamia, T., C., Bhalani, H., N., Singh, P., and Kumar, A. 2015. Aflatoxins : Causes and Effects. A Monthly Magazine of Agricultural and Biological Sciences.  8 (9) : 140-142.

Sembiring, B., B., Supriadi, dan Ediningsih. Efektivitas Metode Pengeringan Untuk Menekan Aflatoksin pada Biji Pala Kering. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 26 (1): 1-10.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun