Aku adalah Erwin, sahabat Raphael. Aku mengenalnya sejak kecil, dan aku selalu kagum dengan kebaikannya. Dia selalu membantu orang-orang di negara Khiyana, tempat kami tinggal. Dia memberi mereka makanan, obat, dan kasih sayang. Dia tidak pernah marah atau dendam, walaupun banyak orang yang membencinya dan menganggapnya sebagai penyihir. Aku percaya bahwa Raphael adalah orang yang istimewa, yang memiliki kekuatan dari Tuhan. Aku tidak pernah meragukan asal-usul kekuatannya, karena aku tahu dia tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk hal yang jahat. Aku selalu berada di sisinya, mendukungnya, dan melindunginya.
Tapi, semuanya berubah ketika negara Habun menyerang negara kami. Mereka menginginkan kekuatan Raphael, dan mereka berusaha menangkapnya. Mereka menghasut orang-orang Khiyana untuk membenci Raphael, dan mengatakan bahwa dia adalah ancaman bagi kedamaian. Mereka juga menyebarkan fitnah bahwa Raphael adalah pengikut setan, dan bahwa dia harus dihukum mati. Aku mulai terpengaruh oleh omongan-omongan itu. Aku mulai merasa iri dengan Raphael, yang selalu menjadi pusat perhatian. Aku mulai merasa kesepian, karena Raphael jarang berbicara dan menghabiskan waktu bersamaku. Aku mulai merasa ragu dengan Raphael dan Tuhan yang dia sembah.
Aku mulai membenci Raphael.
Suatu hari, Raphael mengundang aku dan teman-teman lainnya untuk makan bersama. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku datang saja. Di tengah makan, Raphael berkata sesuatu yang membuatku kaget.
"Salah satu dari kalian akan mengkhianatiku. Dialah yang akan kuberikan sepotong roti ini setelah aku mencelupkannya ke dalam piring."
Aku melihat sekeliling, dan aku melihat semua orang mendapat sepotong roti dari Raphael. Tapi, ada yang aneh. Semua roti yang diberikan Raphael sudah dicelupkan ke dalam anggur, kecuali punyaku. Aku merasa ada yang tidak beres. Aku menatap Raphael, dan dia tersenyum padaku.
Aku merasa takut.
Setelah makan, aku merasakan ada sesuatu di dalam tubuhku. Aku mendengar suara-suara di dalam kepalaku, yang menyuruhku untuk melakukan sesuatu.
"Lakukan. Lakukan. Lakukan."
Aku tidak bisa menolak. Aku tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa mengikuti perintah itu. Aku berjalan menuju tempat tentara Habun beristirahat, dan aku berkata kepada mereka.
"Saya tahu di mana Raphael. Beri saya sejumlah imbalan terlebih dahulu."