"...Selamat tinggal."
Aku berbalik dan berlari meninggalkan mereka. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya tahu, aku tidak akan pernah bahagia tanpa Abraz.
Patah hati, dalam hatiku aku ingin mengakui cintaku ke Abraz di depan Aqeela, tetapi aku tahu itu akan mematahkan hubungan aku dengan adikku. Dengan pasrah, setiap hari aku membantu adikku untuk semakin dekat dengan Abraz, dan itu berhasil. Aku mungkin iri, tetapi aku tetap sayang dengan Aqeela.
2 tahun telah berlalu, Aqeela menikah dengan Abraz. Aku menjadi wanita terhormat dalam pernikahan mereka. Aku berterima kasih kepada Abraz untuk telah menjadi temanku sekaligus siap menjadi iparku. Tetapi, Abraz menanyakan aku sesuatu.
"Waktu 2 tahun lalu... Maaf ya", dia cakap dengan nada bersalah.
"Oh, tidak apa-apa! Malahan aku senang kok, mengetahui adikku menikah dengan pemain gitar yang terkenal!"
Setelah berterima kasih, aku keluar dari tempat pernikahan mereka. Orang-orang datang dengan senang, aku keluar dengan perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan ke orang-orang. Ternyata sudah malam hari. Dari kejauhan, saya dapat melihat mereka menari bersama. Aku iri. Aku iri dengan Aqeela. Mengapa? Mengapa Tuhan mempunyai rencana lain? Mengapa dia tidak menjadi pasanganku? Aku pergi ke taman bunga favoritku, dan melihat kolam yang ada disana. Kolamnya jernih, dan mengkilau karena cahaya bulan.
"Indah sekali. Seperti dia."
Lelah dengan apa saja yang saya sedang pikirkan, saya duduk di bangku dekat dengan kolam itu. Melihat bulan, sambil mengeluarkan air mata...
Ku berkata, "Aku tidak akan pernah puas tanpanya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H