Mohon tunggu...
Rafi Akmal Zain
Rafi Akmal Zain Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kimia Universitas Sebelas Maret

Mahasiswa Kimia Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Gen Z dan Homesick: Antara Nostalgia Digital dan Realita Kehidupan Merdeka

10 Desember 2024   19:46 Diperbarui: 10 Desember 2024   19:46 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi Z, generasi yang tumbuh di era digital serba cepat dan terhubung, seringkali digambarkan sebagai generasi yang mandiri dan tangguh. Mereka melek teknologi, berjejaring luas, dan tampak selalu siap menghadapi tantangan. Namun, di balik citra modern dan tangguh ini, ada sisi lain yang mungkin jarang terekspos: kerinduan rumah, atau yang lebih dikenal sebagai homesick. Meskipun terhubung secara digital, Gen Z juga merasakan sengatan rindu yang sama kuatnya, bahkan mungkin dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Bayangkan: seorang mahasiswa Gen Z yang baru pertama kali merantau untuk kuliah. Ia punya grup WhatsApp keluarga yang selalu ramai, bisa video call kapan saja, dan bahkan bisa melihat aktivitas orang tuanya lewat Instagram Story. Kelihatannya mudah, kan? Terhubung secara digital seolah-olah menghapus jarak. Namun, kenyataannya, teknologi, walau hebat, tidak bisa sepenuhnya menggantikan sentuhan hangat ibu, aroma masakan rumah, atau canda tawa keluarga di ruang makan. Rasa "asing" di lingkungan baru, tekanan akademik, dan kerinduan akan kenyamanan rumah tetap bisa menerjang, bahkan lebih intens karena adanya kontras antara dunia maya yang sempurna dan realita kehidupan kampus yang penuh tantangan.

Homesick bagi Gen Z mungkin bukan sekadar rindu pada fisik rumah. Ia juga bisa berupa kerinduan akan identitas dan rasa aman yang dibangun di lingkungan rumah. Bayangkan transisi dari kamar tidur yang dipenuhi poster idola dan barang-barang kesayangan, ke kamar kos yang minimalis dan impersonal. Perubahan ini, sekecil apapun, bisa memicu rasa kehilangan dan kerinduan akan "rumah" sebagai representasi dari jati diri mereka. Di rumah, mereka adalah anak, cucu, atau adik yang dicintai dan dimengerti. Di tempat baru, mereka harus membangun identitas baru, beradaptasi dengan lingkungan sosial yang berbeda, dan menghadapi penilaian orang lain.

Media sosial, ironisnya, bisa memperburuk situasi. Melihat postingan teman-teman di rumah yang sedang berkumpul, berlibur, atau hanya sekadar menikmati waktu bersama keluarga, bisa memicu gelombang rasa iri dan kerinduan. Alih-alih mendekatkan, media sosial kadang justru menciptakan jarak emosional dan memperkuat perasaan kesepian. "FOMO" atau Fear Of Missing Out yang sering dialami Gen Z semakin memperparah kondisi ini. Mereka merasa tertinggal, seolah-olah sedang kehilangan momen-momen berharga yang terjadi di rumah.

Namun, penting untuk diingat bahwa mengalami homesick bukanlah tanda kelemahan. Justru sebaliknya, itu menunjukkan bahwa Gen Z memiliki ikatan emosional yang kuat dengan keluarga dan rumah mereka. Itu menunjukkan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk merasakan dan mengekspresikan emosi secara mendalam. Menerima perasaan homesick sebagai bagian alami dari proses pendewasaan sangatlah penting. Mencoba melawan atau menekan perasaan ini justru akan membuat kondisi semakin buruk.

Lalu, bagaimana Gen Z bisa mengatasi homesick? Pertama, komunikasi yang terbuka dengan keluarga sangat penting. Sebuah panggilan video singkat, pesan singkat yang berisi kabar baik, atau bahkan sekadar berbagi foto kegiatan sehari-hari dapat membantu mengurangi rasa rindu. Kedua, membangun koneksi sosial di lingkungan baru juga krusial. Mencari teman, bergabung dengan komunitas, atau mengikuti kegiatan kampus dapat membantu menciptakan rasa kebersamaan dan mengurangi perasaan kesepian. Ketiga, penting untuk merawat diri sendiri. Istirahat yang cukup, pola makan yang sehat, dan olahraga teratur dapat membantu meningkatkan mood dan mengurangi stres.

Selain itu, Gen Z juga bisa memanfaatkan teknologi dengan bijak. Alih-alih membandingkan diri dengan postingan teman-teman di media sosial, mereka bisa menggunakan teknologi untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman-teman tanpa harus terjebak dalam perbandingan yang tidak sehat. Menonton video keluarga, mendengarkan musik kesukaan yang mengingatkan pada rumah, atau membaca pesan-pesan dukungan dari orang terkasih bisa memberikan kenyamanan emosional.

Homesick bagi Gen Z adalah pengalaman yang kompleks, perpaduan antara kemajuan teknologi dan kerinduan akan ikatan manusia yang mendalam. Ini bukan sekadar rindu pada tempat, tetapi juga rindu pada rasa aman, identitas, dan dukungan emosional yang hanya bisa ditemukan di rumah. Dengan memahami dan mengelola perasaan ini dengan baik, Gen Z dapat melewati fase transisi menuju kemandirian dengan lebih percaya diri dan bahagia. Mengakui dan menerima homesick bukanlah tanda kegagalan, melainkan bukti bahwa di balik citra modern dan digital, mereka tetaplah manusia yang penuh perasaan dan membutuhkan koneksi manusia yang sesungguhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun