Mohon tunggu...
Rafi Ahmad
Rafi Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

menulis artikel

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tujuan Pokok Ajaran Al Quran adalah Ketiga Perbaikan dan Keadaan Thabi'i dapat Menjadi Akhlak Melalui Penyelarasan

3 Juli 2022   07:20 Diperbarui: 3 Juli 2022   07:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebelum saya menerangkan ketiga perbaikan itu saya rinci, saya merasa perlu menjelaskan bahwa didalam Alquran Suci tidak ada suatu ajaran yang harus dipercayai secara paksa. Justru tujuan seluruh Alquran hanyalah ketiga perbaikan itu. Dan intisari semua ajaranya adalah ketiga perbaikan tersebut. 

Sedangkan segenap peraturan lainnya merupakan sarana-sarana untuk perbaikan itu. Seperti halnya seorang dokter yang dalam usahanya memulihkan kembali kesehatan pasiennya, sewaktu-waktu perlu melakukan pembedahan dan kadang-kadang hanya mengoleskan salep; demikian pula ajaran Alquran, solidaritasnya terhadap umat manusia, telah melakukan tindakan-tindakan seperti itu sesuai kondisi masing-masing.

Maksud sebenarnya semua ajaran makrifat-- Yakni ilmu-ilmu, nasihat dan sarana-sarana lainnya-- ialah mengantarkan umat manusia dari keadaan - keadaan thabi'i yang memiliki corak biadab, kepada keadaan-keadaan akhlaki. Dan kemudian mengantarkannya dari keadaan-keadaan akhlaki hingga ke samudera kerohanian yang tiada bertepi.

sebelumnya telah saya terangkan bahwa keadaan-keadaan thabi'i bukanlah sesuatu yang terpisah dari keadaan-keadaan akhlaki, melainkan keadaan-keadaan itu jugalah yang bila diterapkan sesuai pertimbangkan akal dan tempat serta kesempatan yang tepat, dengan cara yang semestinya akan mengambil corak keadaan-keadaan akhalki. 

Selama hal itu tidak dilakukan berdasarkan perbaikan dan pertimbangan akal serta  makrifat-- tidak perduli betapa pun hal itu sangat menyerupai akhlak-- pada hakikatnya itu bukanlak akhlak, melainkan hanya merukan dorongan naluri yang mengalir tanpa kendali. keadaan akhlaki itu mulai berlaku setelah tindakan sesuai kedaan, pertimbangkan akal dan ketepatan waktu. 

Dan orang tidak menggunakan akal serta pikirannya adalah  seperti bayi-bayi yang hati serta akalnya belum dinaungi daya pikir. Jelaslah bahwa seorang bayi kadang-kadang memperlihatkan tingkah laku yang nampaknya seperti akhlak, akan tetapi  tiada orang arif yang dapat menamakannya akhlak. 

Sebab, tingkah laku tersebut tidak terbit dari sumber penalaran dan pertimbangan suasana, melainkan timbul secara alami oleh rangsangan-rangsangan.  

Misalnya bayi manusia, begitu lahir serta merta ia mecari buah dada ibunya. Hendaklah diperhatikan khususnya kedaan anak manusia, bagaimana dia begitu lahir langsung memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan manusia. 

Dan tatkala ia telah mencapai usia sutu sampai satu setengah tahun, maka kebiasaan-kebiasaan thabi'inya sangat nyata. misalnya, sebagaimana ia menangis pada masa-masa awal, kini ia menangis lebih keras  dibandingkan sebelumnya. 

Begitu pula senyumnya berubah menjadi tertawa terbahak-bahak. Matanya pun memperlihatkan tanda bahwa ia mulai melihat dengan sengaja. pada usia ini timbul pula gejala alami lainnya. yaitu memperlihatkan suka atau tidak sukanya melalui gerak-gerik, dan ia ingin memukul atau ingin memberi sesuatu kepada orang lain. Akan tetapi semua gerak-gerik ini sebenarnya  hal-hal alami.

Jadi, seperti halnya bayi tadi, ada juga manusia biadab yang sedikit sekali memiliki nalar manusiawi. Dia pun hanya sekedar memperlihatkan gerakan-gerakan alami dalam setiap ucapan, perbuatan, gerak dan diamnya. Dan dia mengikuti gejolak-gejolak alaminya. 

Tiada suatu perkara timbul daripadanya yang merupakan hasil pikiran dan pertimbangan kekuatan batin, melainkan segala sesuatu yang timbul dari dalam dirinya secara alami terus mengalir berdasarkan  rangsangan-rangsangan dari luar. 

Mungkin saja gejolak-gejolak alami yang keluar dari dalam dirinya akibat rangsangan, tidak semuanya buruk. Bahkan diantaranya ada yang menyerupai akhlak baik. 

Akan tetapi didalamnya tidak terdapat campur tangan akal dan pikiran dalam kadar tertentu, dikarenakan gejolak-gejolak alami lebih dominan, maka hal itu tidak layak dipercaya. Justru sesuatu yang lebih dominanlah yang dianggap dapat dipercaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun