Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang di garis khatulistiwa dengan ragam budaya dan potensi sumber daya alam yang melimpah. Negara dengan iklim tropis yang secara geografis sangat strategis karena diapit oleh dua benua dan dua samudera. Sejarah mencatat sejak abad ke-5 perairan Indonesia kerap menjadi jalur perlintasan perdagangan dan pelayaran internasional antara China dan India.
Sebab itu pula, sebagaimana disinggung dalam kronik Tiongkok dan India, para pedagang dari Nusantara yang hari ini dikenal sebagai sebagian wilayah Negara Indonesia telah menguasai niaga komoditas berbau harum, yakni cengkih dan pala. Kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan yang berkuasa di Nusantara dikenal sebagai penguasa di kawasan barat hingga tengah sejak abad ke-8 hingga abad ke-10.
Kerajaan ini mengontrol seluruh lintas laut bangsa Barat dan Tiongkok yang saat ini dikenal sebagai wilayah China menuju rute kepulauan rempah-rempah dan Selat Malaka. Rempah saat itu bukan hanya sekedar komoditi yang berdampak pada perkembangan ekonomi, namun juga dalam skala lokal dan global mempengaruhi nilai dan gaya hidup masyarakat baik dari sisi politik, sosial dan budaya.
Bagi bangsa Indonesia rempah bukan hanya sekedar warisan alam yang melimpah melainkan juga sebagai warisan budaya. Pala salah satunya, sebagai tanaman rempah asli Kepulauan Banda yang sudah ada sejak zaman nenek moyang dan berhasil menjadi rempah kelas dunia. Tamanan pala yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat menjadikan Kepulauan Banda sebagai tempat bertemunya banyak manusia dari berbagai agama, bahasa dan budaya yang saling bertukar dan melebur.
Seperti yang dilansir dari The Guardian, bahwa pala menjadi sumber kehidupan di Kepulauan Banda dan kemungkinan besar berevolusi selama berabad-abad lamanya. Sejarah pala di Kepulauan Banda tersendiri bisa ditelurusi jauh hingga abad ke-6 yang pada saat itu telah berhasil menembus pasar ekspor Byzantium salah satu bagian wilayah kekaisaran Romawi Timur yang berjarak 12.000 kilometer dari Kepulauan Banda.
Masa kejayaan rempah Nusantara hingga abad ke-18, menjadikan Nusantara sebagai kawasan bersejarah yang mewariskan banyak legenda terkait dengan jalur rempah. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia datang untuk memburu rempah-rempah terbaik dari bumi nusantara yang melimpah ruah. Jalur perdagangan ini menjadikan Nusantara sebagai emporium global di mana bangsa-bangsa dari berbagai penjuru dunia yang semula hanya mendengar legenda surga rempah-rempah Nusantara, lantas berbondong-bondong melakukan jelajah bahari untuk mencapai letak surga itu.
Menurut Jack Turner dalam bukunya “Spice: The History of Temptation” rempah-rempah sangat disukai karena memiliki berbagai macam khasiat seperti penangkal penyakit, bahan dasar kosmetik, pengawet makanan, penyedap, dan olahan produk lainnya. Dari semua jenis rempah-rempah Nusantara terdapat rempah yang paling penting dan paling dicari yaitu cengkih dan pala.
Seperti yang dikatakan oleh Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515), “Tuhan telah menciptakan Banda untuk pala dan Maluku untuk cengkih, dan barang dagangan ini tidak dikenal di dunia ini terkecuali di dua lokasi tersebut. Saya telah bertanya dan menyelidiki dengan teliti: Apakah barang ini dapat ditemukan di tempat lain? Semua orang menjawab: Tidak!”
Pada perkembangannya tamanan pala yang semula hanya dapat dibudidayakan di Kepulauan Banda lantas mulai menyebar ke beberapa daerah Nusantara, Hal tersebut bersamaan dengan perjalanan Marcopolo ke Tiongkok yang melewati pulau Jawa dari tahun 1271-1295. Sejak saat itu budidaya tamanan pala terus meluas ke pulau Jawa sampai dengan pulau Sumatera.
Menurut Bambang Budi Utomo yang merupakan salah seorang arkeolog senior di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan bahwa pengaruh kedatangan bangsa Eropa saat itu menyebabkan tanaman tersebut tersebar dan dapat dibudidayakan di luar Kepulauan Banda.
Purwakarta sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terdiri dari dataran tinggi sampai dengan dataran rendah menjadi salah satu titik penyebaran tanaman pala di pulau Jawa. Pala yang tumbuh di Purwakarta mayoritas terdapat di daerah dataran tinggi, seperti Wanayasa, Bojong, Kiarapedes dan Darangdan.
Jauh dari daerah asalnya di Kepulauan Banda, buah pala (Myristica fragrans) pernah membawa kemakmuran bagi kehidupan sebagian warga Purwakarta, Pengamat sejarah Purwakarta, Ahmad Said Widodo mengatakan bahwa tanaman pala yang ada di Purwakarta tersebut dibawa Belanda dari Banda pada masa tanam paksa tahun 1830-1870. Pendistribusian pala ke daerah lain dilakukan karena saat itu kas Pemerintah Kolonial Hindia Belanda habis dan mengalami kerugian akibat Perang Jawa pada tahun 1825-1830.
Penyebaran pala pada saat itu biasanya dilakukan di lahan perkebunan milik Belanda. Menurut sejarah, selama itu harga pala masih bisa diandalkan pemerintah kolonial untuk mengisi pundi-pundinya. Berbagai catatan perjalanan para petualang Eropa menyebutkan bahwa nilai segenggam pala setara dengan segenggam emas. Berdasarkan sejarah panjang tersebut, tidak heran bahwa pala sejak lama hidup berdampingan bersama masyarakat Purwakarta dan menjadikan Purwakarta sebagai salah satu daerah potensial bagi komoditas tanaman pala.
Setelah sempat dijuluki emas hijau, pada perjalananya harga pala mulai turun. Dahulu, harga pala jauh di atas emas dengan perbandingan harga 1 kilogram pala kala itu lebih mahal dari harga 1 kilogram emas. Namun, kini nilai 1 kilogram pala hanyalah berbanding 0,00015 dari harga 1 kilogram emas dengan asumsi harga Rp. 500.000 per gram emas.
Bahkan sebelum tahun 1990-an, hampir tidak ada nilai tambah dari komoditas pala purwakarta. Selain bijinya yang terpaksa dijual murah daging buah pala seringkali hanya dianggap sebagai limbah dan tidak diambil manfaatnya sama sekali. Namun sejak tahun 1993 daging buah pala yang semula tidak dimanfaatkan sama sekali, akhirnya diolah menjadi manisan buah pala yang hingga saat ini menjadi ciri khas buah tangan Wanayasa salah satu daerah penghasil tanaman pala di Purwakarta.
Selain manisan pala, terdapat produk olahan pala lainnya, yaitu sirop. Sirop pala berbeda dengan sirop-sirop lainnya, perpaduan cita rasa manis dan asam menjadikan sirop buah pala ini mempunyai khasiat baik bagi kesehatan tubuh. Selain itu terdapat juga olahan pala yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi bahkan sudah masuk pasar ekspor, yaitu minyak atsiri. Minyak yang harganya bisa mencapai 1 juta rupiah per kilogram ini memiliki manfaat tak kalah dari minyak zaitun mulai dari meningkatkan sirkulasi darah sampai dengan mengatasi gangguan pencernaan.
Banyak referensi menyebutkan bahwa buah pala memiliki banyak khasiat. Di dalam “Guidebook on The Proper Use of Medicinal Plants” menyebutkan bahwa buah pala kaya akan berbagai senyawa kimia yang bermanfaat untuk kesehatan.
Senyawa kimia itu bisa membantu mengobati masuk angin, gangguan susah tidur (insomnia), memperlancar pencernaan dan meningkatkan selera makan (bersifat stomakik), memperlancar buang angin, mengatasi rasa mual-muntah (antiemetik), dan nyeri haid. Karena besarnya manfaat buah pala tersebut, minat terhadap aneka jenis olahan berbahan baku buah pala sampai dengan saat ini tidak pernah surut.
Sebagai seorang pelajar yang memiliki kecintaan terhadap warisan budaya Indonesia dan juga berperan aktif di berbagai organisasi yang saat ini menjadi Dewan Pembimbing Forum OSIS SMP Purwakarta, relawan gerakan Tatanen di Bale Atikan Dinas Pendidikan Kab. Purwakarta, Duta Literasi dan Atikan Istimewa serta Duta Pariwisata, Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif di Kab. Purwakarta sudah menjadi tugas dan kewajiban saya untuk turut berkontribusi dalam upaya pemajuan kebudayaan. Pala yang merupakan salah satu komoditi yang memiliki sejarah panjang di Purwakarta rasanya perlu dikenalkan kembali kepada generasi muda sehingga tumbuh suatu kesadaran mengenai pentingnya mempertahankan tanaman pala di Purwakarta agar tetap lestari.
Salah satu kontribusi yang akan saya lakukan adalah dengan cara mengkampanyekan kepada masyarakat Purwakarta pada umumnya dan khususnya pada masyarakat di daerah penghasil buah pala bahwa Kab. Purwakarta merupakan daerah yang potensial akan komoditas pala. Bersama masyarakat saya akan mendorong pengembangan inovasi produk turunan buah pala agar Purwakarta sebagai salah satu daerah penghasil komoditas pala ini dapat termasyur dengan berbagai produk olahan pala yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Selain itu saya akan berupaya mengedukasi masyarakat untuk tetap peduli terhadap regenerasi petani komoditas tanaman pala yang sangat potensial, anak-anak muda perlu diberi pengetahuan cara budidaya tanaman pala mulai dari proses penanaman, perawatan dan pengelolaan tanaman pala menjadi beragam produk turunan sehingga mereka diharapkan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang tanaman pala dan cara pengolahannya.
Proses ini tentu bukan bertujuan untuk menjadikan generasi muda tersebut seluruhnya menjadi petani pala, melainkan sebagai suatu upaya mewariskan pengetahuan mengenai pengelolaan lahan-lahan produktif yang berada dilingkungan sekitar dengan budidaya tanaman pala yang secara ekonomis sangat potensial. Sehingga regenerasi petani pala tersebut akan berdampak pada kemungkinan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat di daerah penghasil tanaman pala yang selama ini berpengaruh terhadap perekonomian.
Maka, jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi kualitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat akan tercipta dengan lebih baik. Dengan begitu, potensi tanaman pala untuk tergantikan oleh komoditas tanaman lain dapat terminimalisir, sehingga seluruh rangkaian proses itu bukan hanya berdampak pada kelestarian alam melainkan juga terhadap kelestarian warisan budaya dan pemajuan kebudayaan.
-Rafi Sugema
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H