Mohon tunggu...
Raffi Muhamad Faruq
Raffi Muhamad Faruq Mohon Tunggu... Peternak - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Bola

Jika Kita Lolos Piala Dunia 2026: Euforia yang Membuat Besar Kepala

9 Januari 2025   12:34 Diperbarui: 9 Januari 2025   12:34 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: bolatimes.com 

Bayangkan sejenak, jika timnas Indonesia berhasil mencapai Piala Dunia 2026---suatu pencapaian yang bagi sebagian orang mungkin hanya tampak seperti impian yang jauh. Jika hal itu benar-benar terjadi, saya dapat memprediksi satu hal yang tak terhindarkan: mayoritas masyarakat Indonesia dan petinggi PSSI akan bertepuk tangan, menyuarakan euforia, dan mungkin, lebih parahnya, melupakan segala problematika mendalam yang selama ini mengakar dalam pembinaan sepak bola tanah air. Kita semua akan berlarian mengejar sorotan sesaat, berteriak dengan bangga bahwa Indonesia telah mencetak sejarah, namun dengan cepat melupakan perjalanan panjang yang penuh kekurangan yang telah menghalangi kemajuan kita sejak dulu.

Seperti sebuah kegembiraan yang datang tiba-tiba, sukses sesaat di pentas Piala Dunia bisa membuat kita lupa bahwa prestasi tersebut, jika benar tercapai, hanya mencerminkan hasil dari kebijakan yang mengandalkan jalan pintas, alih-alih proses yang matang dan berkesinambungan. Kita akan merayakan hasil sementara tanpa pernah bertanya: apakah ini memang representasi dari pembinaan jangka panjang yang kokoh? Ataukah ini hanya keberuntungan semata, sebuah fenomena yang terjadi di luar dugaan tanpa memberi kita kesempatan untuk menilai dan membenahi hal-hal yang sebenarnya lebih penting?

Mari kita ambil contoh keberhasilan sebuah tim yang berhasil mencapai Piala Dunia, tetapi terlupakan adalah apa yang terjadi di balik layar---bagaimana negara tersebut membangun dasar-dasar yang kokoh dalam pendidikan sepak bola, dalam pembangunan akademi-akademi yang mencetak pemain berbakat, dan dalam penciptaan sistem liga yang kompetitif dan sehat. Negara-negara yang terus-menerus berkompetisi di level tertinggi tidak meraih itu semua dalam sekejap. Mereka membangun fondasi dengan tekun, dengan kesabaran, dan dengan keyakinan bahwa hanya melalui proses panjang, keberhasilan itu bisa bertahan lama.

Namun di Indonesia, dengan segala kegembiraan yang berpotensi datang, kita berisiko terjebak dalam kebanggaan semu yang akan mengarah pada ketidakpedulian terhadap pembinaan yang masih jauh dari sempurna. Jika kita berhasil menembus Piala Dunia 2026, saya khawatir kita akan terjerumus pada ilusi bahwa segala sesuatu sudah berjalan dengan baik. PSSI dan masyarakat, terbuai oleh kemenangan sesaat, mungkin akan mulai lupa bahwa di balik keberhasilan itu terdapat serangkaian masalah yang tak kunjung diselesaikan: minimnya fasilitas pelatihan yang memadai, pengelolaan liga yang amburadul, serta kurangnya pengembangan pemain muda di tingkat akar rumput.

Bila ini terjadi, kita tidak hanya merayakan keberhasilan yang tidak didukung oleh fondasi yang kokoh, tetapi juga mengabaikan kenyataan bahwa kita tidak cukup membangun budaya sepak bola yang sehat dan berkelanjutan. Semua yang kita capai seolah-olah akan diwarnai dengan kesombongan, dengan perasaan bahwa kita telah tiba di puncak, padahal sesungguhnya kita masih berada di awal perjalanan. Sebuah pencapaian sementara, seperti melangkah ke Piala Dunia, bisa menjadi momok yang menghalangi kemajuan yang lebih berarti jika kita gagal melihatnya dalam perspektif yang benar.

Penting untuk diingat bahwa jika kita tidak memperbaiki dasar pembinaan sepak bola kita, maka keberhasilan semacam itu hanya akan menjadi pencapaian tanpa makna. Setelah euforia mereda, timnas Indonesia yang berhasil masuk ke Piala Dunia 2026 akan kembali berhadapan dengan kenyataan keras: tanpa adanya pembinaan yang sistematis, pemain yang berkualitas, dan kompetisi yang sehat, kesuksesan tersebut akan sulit dipertahankan. Kegembiraan akan meredup, dan kita akan kembali terperangkap dalam siklus pencarian solusi instan yang tidak pernah memberi dampak jangka panjang.

Penting bagi kita untuk memahami bahwa jalan menuju keberhasilan bukanlah serangkaian kemenangan yang datang dari keajaiban sesaat, tetapi sebuah perjalanan panjang yang dibangun dari fondasi yang kuat. Pembinaan yang baik adalah yang tidak terlihat oleh mata orang-orang yang hanya sibuk mencari hasil instan. Itu adalah perjalanan yang memerlukan ketekunan, kerja keras, serta kebijakan yang berfokus pada pengembangan pemain muda dan peningkatan kualitas liga domestik. Dan jika kita benar-benar ingin sepak bola Indonesia menjadi kekuatan yang dihormati di Asia, kita harus siap untuk tidak hanya merayakan pencapaian sesaat, tetapi juga bekerja lebih keras untuk menciptakan pembinaan yang berkelanjutan.

Bila kita benar-benar ingin membuktikan diri di dunia sepak bola, kita harus bersedia menghadapi kenyataan: keberhasilan sesaat bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari pekerjaan yang lebih berat. Jangan sampai kita terlalu terlena dengan euforia Piala Dunia, karena itu bisa jadi adalah penghalang terbesar untuk mencapai masa depan sepak bola Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun