Mohon tunggu...
raffiagungg
raffiagungg Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

hobi bermain volley dan berorganisasi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

budaya cancel culture pada masyarakat Indonesia terkait dengan peristiwa viral pada laman sosial media

22 Desember 2024   21:05 Diperbarui: 22 Desember 2024   21:06 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, budaya "cancel" atau "cancel culture" telah menjadi fenomena yang berkembang pesat, baik di dunia maya maupun di kehidupan sosial Indonesia. Istilah ini merujuk pada praktek pembatalan dukungan terhadap individu, selebriti, atau perusahaan karena alasan moral, etis, atau sosial tertentu, yang kemudian menjadi viral di media sosial. Budaya ini sering kali memicu kontroversi,baik dalam skala besar maupun kecil, dan membangkitkan perdebatan mengenai batasan kebebasan berpendapat serta tanggung jawab sosial. Berbagai perspektif muncul seiring dengan meningkatnya kesadaran sosial yang didorong oleh media sosial, namun dampaknya terhadap kohesi sosial dan dinamika kebebasan berpendapat perlu diperhatikan dengan seksama. Salah satu alasan munculnya fenomena budaya cancel di Indonesia adalah meningkatnya penggunaan media sosial yang memberi ruang bagi masyarakat untuk lebih aktif dalam menyuarakan opini mereka. Menurut Jannah (2020), medias osial telah bertransformasi menjadi platform yang memungkinkan setiap individu untuk menjadi"pengamat sosial" dan bahkan pelaku perubahan sosial. Ketika seseorang, baik tokoh publik atau entitas lain, dianggap melakukan pelanggaran moral atau sosial—seperti rasisme, diskriminasi, atau pelecehan—reaksi yang muncul biasanya berupa pemboikotan atau penghapusan dukungan secara massald i dunia maya. Fenomena ini menjadi semacam upaya kolektif untuk menegakkan nilai-nilai sosial. Budaya cancel seringkali berkaitan dengan upaya memperbaiki ketidakadilan atau pelanggaran norma, dampaknya terhadap kebebasan berpendapat dan dialog sosial menjadi isu yang semakin kompleks. Iskandar et al. (2021) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun budaya cancel dapat menjadi alat untuk menuntut akuntabilitas, dalam banyak kasus, hal itu berpotensi mengikis ruang untuk diskusi yang terbuka dan konstruktif. Ketika individu atau kelompok merasa takut untuk mengungkapkan pendapatnya karena risiko dibatalkan atau dihakimi secara sosial, maka kebebasan berbicara dan bertukar ide akan tergerus. Dalam masyarakat yang ideal, kebebasan berpendapat seharusnya dilindungi, tetapi dengan adanya budaya cancel, muncul ketakutan yang tidak jarang membatasi ruang untuk perbedaan pendapat yang sehat. Penyempitan ruang untuk berdialog ini berbahaya karena berpotensi menimbulkan polarisasi sosial yang lebih tajam. Dimas dan Widianto (2022) berargumen bahwa dalam banyak kasus, budaya cancel memperburuk ketegangan antara kelompok yang memiliki pandangan berbeda, karena setiap kesalahan—terutama yang bersifat verbal—dapat dengan cepat dipandang sebagai kesalahan fatal yang tak dapat dimaafkan. Polarisasi ini tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi juga merembet ke kehidupan nyata, mengarah pada ketegangan sosial yang semakin sulit untuk diselesaikan secara konstruktif. Oleh karena itu, meskipun tujuan dari budaya cancel adalah menegakkan moralitas, prosesnya sering kali menciptakan efek yang kontraproduktif. Budaya cancel juga memberikan dampak positif, terutama dalam konteks memperkuat akuntabilitas sosial. Seperti yang dijelaskan oleh Hasan (2023), budaya cancel seringkali digunakan sebagai alat untuk menuntut perubahan, baik dalam skala individu maupun institusi. Sebagai contoh, perusahaan yang terbukti terlibat dalam praktik diskriminasi atau eksploitasi dapat dipaksa untuk melakukan perubahan signifikan, berkat tekanan sosial yang timbul dari gerakan ini. Dalam beberapa kasus, gerakan pembatalan dukungan ini berhasil memaksa pihak yang bersalah untuk meminta maaf atau melakukan reformasi yang penting. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun budaya cancel dapat menimbulkan dampak negatif, ia juga bisa menjadi instrumen untuk memaksa perubahan yang lebih adil dan lebih transparan dalam masyarakat. Namun, dalam praktiknya, budaya cancel sering kali tidak diiringi dengan kesempatan untuk rehabilitasi atau perbaikan. Hal ini dapat berujung pada penghukuman tanpa proses pembelajaran yang memadai. Fitri (2020) mencatat bahwa penting bagi masyarakat untuk memberi ruang bagi individu yang melakukan kesalahan untuk memperbaiki diri dan menunjukkan pertanggungjawaban. Dalam banyak kasus, individu atau entitas yang terlibat dalam kontroversi sering kali tidak diberi kesempatan untuk mengklarifikasi atau meminta maaf secara terbuka. Padahal, pembelajaran sosial dan perbaikan diri adalah bagian penting dari proses pemulihan yang dapat mendukung terciptanyaa masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. Oleh karena itu, mekanisme pembatalan dukungan ini harus lebih bijaksana, dengan memperhatikan konteks dan dampak jangka panjang terhadap individu yang terkena dampak. Dalam konteks sosial Indonesia, budaya cancel ini juga berinteraksi dengan norma-norma tradisional yang mengedepankan harmoni sosial dan menjaga citra publik. Sebagaimana dicatat oleh Jannah (2020), masyarakat Indonesia yang masih sangat menghargai norma kolektivitas dan keharmonisan, seringkali merasa tergerak untuk "menghukum" individu yang dianggap telah melanggar nilai-nilai tersebut. Namun, hal ini perlu disikapi dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketegangan sosial yang berlarut-larut. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan antara keinginan untuk menegakkan nilai moral dan pentingnya memberikan ruang untuk perbedaan pandangan masyarakat.

Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya cancel di Indonesia merupakan fenomena yang menawarkan tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, ia berperan penting dalam mendorong akuntabilitas sosial dan menegakkan nilai-nilai moral yang dianggap penting. Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola dengan bijaksana, budaya cancel dapat memperburuk polarisasi sosial dan membatasi kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan pendekatan yang lebih bijaksana dalam menghadapi budaya cancel, dengan memastikan adanya ruang bagi dialog yang sehat dan kesempatan bagi individu untuk memperbaiki diri

REFERENSI

Dimas, A., & Widianto, A. (2022). Cancel Culture dan Pengaruhnya terhadap Kebebasan Berpendapat di Media Sosial: Perspektif Sosial Indonesia. Jurnal Sosial dan Politik, 28(3), 112-130.

Hasan, M. (2023). Akuntabilitas Publik dan Budaya Cancel: Menjaga Keadilan dalam Era Digital. Yogyakarta: Pustaka Sosial.

Iskandar, B., Sari, D., & Mahmud, A. (2021). Budaya Cancel di Indonesia: Transformasi Media Sosial dan Perubahan Sosial. Jurnal Komunikasi, 17(2), 45-58

Jannah, R. (2020). Media Sosial dan Aktivisme: Peran Budaya Cancel dalam Menanggapi Isu Sosial di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Fitri, N. (2020). Rehabilitasi Sosial dalam Budaya Cancel: Menjaga Proses Pembelajaran di Era Digital. Jurnal Psikologi Sosial, 35(1), 87-102.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun