Hujan gerimis baru sedetik saja reda. Titik-titik dan butiran air yang lembut masih tersisa di udara. Kabut tipis juga semakin membuat dingin suasana. Pepohonan maih basah, sesekali tertiup angin dan merontokkan sisa hujan.
Jalanan begitu lenggang. Hanya pohon-pohon yang terpancang dengan usaha adaptasinya. Asap sesak berdebu maih terasa, meski embun membuatnya sirna. Matahari telah condong ke barat menanti habisnya tenaga menerangi belahan bumi. Sinar temaramnya yang merah tajam di mata. Rumput hijau di tanah lapang yang basah memantulkannya. Membut lapangan tiu begitu indah, berkilau-kilau. Membuatku ingin menjadi mereka. Yang tertawa menerima hujan dan gembira sinar senja mengenainya. Tanah mulai basah. Meninggalkan terik dan api seteru. Tetumbuhan turut berlega, tiada lagi debu dan asap yang menyesakkan stoma.
Begitu indah! Hingga terluap darah duka. Indah pelangi yang melukisi kanvas langit disana, tak seindah rasa hati dan aura.
Namun sayang keindahan itu hanya sedikit yang menyaksikan. Karena hanya ada empat manusia yang memantaunya, di lapangan berumput dengan sinar senja. Mungkin, sebagian dari mereka masih trauma. Hanya satu dua orang saja yang berlalu-lalang, memunguti puing-puing sisa reruntuhan untuk dimanfaatkan. Untuk kembali menegakkan papan, menyempurnakan sandang dan memperoleh tuntutan pangan. Guna membangun pondasi kedamaian. Karena semua hanya ada di satu kata, damai. Sejahtera, anugerah dan jaya bermula dari satu, kedamaian.
Dan memulai damai itu susah. Tak seperti mudahnya menenggadahkan tangan, meminta-minta. Melainkan penuh perjuangan. Ya, seperti perjuangan memperoleh keindahan ini. Dan tiada yang menduga, bila indah itu akan menuai petaka. Tak seorang pun tahu, apa yang akan terjadi setelahnya. Tiada juga yang bersiap menghadapinya. Karena masa depan memang rahasia.
Ketika kita mulai terlena dengan apa yang kita rasa, saat kita menikmati dan merasakan segalanya, segalanya pula terabaikan. Seakan apa yang jadi anugerah kita saat itu adalah puncaknya, adalah yang utama. Sehingga rahasia semakain rapat dirasa. Masa depan pun semakin misteri saja.
Siapa yang menyangka jika dia akan lebih dahulu pergi kepada-Nya diantara empat seikat. Dengan cara yang tak ternah kami relakan. Sungguh seakan telah hilang keadilan. Namun kita juga tak bisa menyalahkan siapa pun. Karena juga tak ada yang patut menyalahan dan tersalahkan. Semua itu kenyataan dan kenyataan itu tak terelakkan.
Tak ada yang rela, kehilangan sebagian dari segenap jiwa empat seikat. Apalagi seorang jiwa pemimpin perjuangan. Yang selama itu menaji sosok harapan. Sungguh tak terelakan. Tapi ini kenyataan dan kenyataan itu tak terelakkan.
Bersamanya kami menuai segalanya. Ini, itu dan seluk-beluk dunia. Kisah bersamanya bagi kami seindah berjuta bintang di angkasa. Suka, duka, tetaplah indah dan harum. Seharum rangkaian bunga persembahan kami. Tanda berpisah. meski kami merasa berat mempersembahkannya.
Bukan lagi kuanggap dia kawan, bukan juga sahabat seperjuangan. Melainkan saudara. Karena aku sebatang kara.
Siapa diriku aku tak tahu. Siapa juga yang memberikan nama ini padaku. Tiada yang bercerita kepadaku bagaimana kisahku dahulu. Aku rindu! Pada ibu dan ayahku. Secantik apa raut muka sang ibu? Segagah apa ayahku? Semua itu hanyalah teka-teki belaka. Yang hanya membuatku semakin berduka. Seakan aku dilahirkan oleh perut bumi begitu saja. Lalu nanti pun ditelannya pula. Hilang. Di tengah teka-teki itu ia hanya berpesan,”Berbakti dan mengabdilah engkau pada bangsa. Jika kau tak menemukan jawabannya.”
Kakek Abdul pernah cerita, bahwa ibuku adalah orang yang disegani dahulu. Ia seorang pembesar. Namun tak tau lagi, karena aku tak pernah menemui beliau jika memang masih di dunia. Selama ini pula aku rindu, pada ibuku yang entah siapa. Tapi hanya empat seikat di relungku yang melekat. Maka pada merekalah kusamakan langkahku.
Begitu dalam aku bercerita. Menuai kembali kisah lapuk dahulu. Batu-batu nisan pun menjadi pendengar setia. Angin sepoi menyapu dan mengeringkan air mata yang berjurai. Entahlah apa yang kurasa. Hanya bayang masa lalu yang terngiang. Masa lalu yang tak pernah berlalu. Jika aku malaikat, ingin aku kembali ke masa lalu. Menemui ibuku dan tentunya mengajaknya kembali kepada nyata dunia. Ah, khayalan! Khayalan itu membuat orang tak mau menerima yang buruk dan meminta yang tidak ada.