SATU ketika saya pernah bertanya kepada salah satu penyuluh KB muda, saya katakan, apakah anak dengan kategori akan lahir stunting bisa diprediksi (predictable) sejak awal? Jawabannya tidak pasti.Â
Dengan demikian, tidak bisa pula dinilai bahwa tiap pasangan akan terus menerus melahirkan keturunan (anak) dengan status stunting. Artinya, masalah stunting masih dapat dicegah semaksimal mungkin dengan usaha dan komitmen bersama dimulai dari individu sebagai sasaran program.Â
Sederhananya, mari kita mulai dengan pertanyaan pribadi: hal sehat apa yang sudah kita lakukan saat ini, atau sudahkah kita melaksanakan pola hidup sehat? Pola hidup sehat adalah kunci penting agar lepas dari jeratan siklus stunting.Â
Lantas apa itu pola hidup sehat? Dalam buku Sanatana Dharma yang ditulis oleh Made Urip Dharmaputra, pola hidup sehat adalah gaya hidup yang memperhatikan segala aspek kondisi kesehatan mulai dari makanan, minuman, nutrisi yang dikonsumsi dan perilaku atau gaya hidup sehari-hari (Kumparan.com). Â
Mengutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan RI yang ditulis kumparan.com, Â cara menerapkan pola hidup sehat itu diantaranya : melakukan aktifitas fisik 30 menit/hari, mengatur pola makan, menjaga berat badan ideal, minum air putih 8 gelas perhari, mengecek kesehatan secara berkala, istirahat yang cukup, dan mengelola stres dengan baik. Apakah tujuh pola diatas sudah menjadi gaya hidup kita? mari kita mulai introspeksi.Â
Pemerintah RI Berkomitmen
Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen membebaskan generasi muda Indonesia dari stunting. Melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting, pemerintah bergerak menyusun strategi dan program untuk mewujudkan Indonesia bebas stunting dengan menekan prevalensi stunting dari 24,4 persen di tahun 2021, menjadi 14 persen ditahun 2024.Â
Hal lain yang perlu kita ketahui bersama adalah, pemerintah pun telah menetapkan Lima Pilar Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang menjadi bagian RPJM 2020-2024, yakni: Komitmen dan Visi Kepemimpinan Nasional dan Daerah, Komunikasi Perubahan Perilaku dan Pemberdayaan Masyarakat, Konvergensi Intervensi Spesifik dan Sensitif di Pusat dan daerah, Ketahanan Pangan dan Gizi, serta Penguatan dan Pengembangan Sistem,Data,Informasi,Riset dan Inovasi. Melalui BKKBN, telah disusun rencana aksi nasional (RAN) percepatan penurunan angka stunting Indonesia (PASTI) yang memerlukan perhatian dan kontribusi semua pihak.Â
Kilas balik sebelum diterbitkannya peraturan presiden spesifik dengan tema percepatan penurunan stunting yang baru , sebelumnya pemerintah juga telah membuat strategi penurunan stunting yang dimulai sejak 2018 s.d 2024, yakni : Penurunan Prevalensi Stunting, Meningkatkan Kualitas Penyiapan Kehidupan Berkeluarga, Menjamin Pemenuhan Asupan Gizi, Memperbaiki Pola Asuh, Meningkatkan Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan dan meningkatkan akses air minum dan sanitasi.Â
Semua strategi ini luar biasa manfaatnya jika mendapatkan perhatian dari masyarakat secara umum, karena stunting merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama-sama dengan peran dan fungsi masing-masing.Â
Bahkan agar terlibat bersama negara lain didunia dalam konsentrasi gizi dan nutrisi anak, sejak Desember 2010 Indonesia telah terhitung satu dekade bergabung dengan gerakan global " Scaling Up Nutrition (SUN) yang menghajatkan perbaikan nutrisi bagi negara yang mendukung gerakan ini (Situs Scaling Up Nutrition).
Memulai dari Peran KeluargaÂ
Kita bisa cegah dan kita bisa turunkan angka prevalensi stunting dengan cara mendukung program penurunan stunting yang dimulai dari keluarga terkecil di rumah.Â
Memberikan informasi perkawinan dan kesehatan bagi calon pengantin baru yang akan membentuk keluarga kecil adalah contoh yang sederhana yang harus kita mulai dari sekarang.Â
Menurut dr. Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap stunting diantaranya, kawin diusia muda, beresiko melahirkan anak stunting, anemia, kondisi ibu yang kurang gizi berpotensi melahirkan anak stunting (artikel berita online).Â
Lantas, hal apa yang menjadi kontribusi kita secara mandiri untuk mencegah stunting jika kita dihadapkan pada isu stunting yang mengglobal ini?Â
Jawabannya tentu kita terlibat secara langsung dan memastikan beberapa hal penting sebagai usaha yang dimulai dari diri kita sendiri, yakni : kita bisa memastikan menikah atau kawin (berpasangan secara halal) diusia diatas 19 tahun,memastikan memeriksakan kesehatan 3 bulan sebelum perkawinan, memastikan kesehatan dan kebersihan lingkungan rumah (sanitasi), memastikan asupan gizi yang cukup bagi orangtua dan janin/ bayi dalam kandungan, serta memastikan pemberian ASI eksklusif selama 2 tahun kepada bayi. Tiga pasti yang pertama dilakukan pranikah, dua pasti selanjutnya ketika mulai ditakdirkan menjadi orangtua baru.Â
Mengapa stunting perlu dicegah? karena dampak yang ditimbulkannya sangat kompleks, diantaranya anak terlahir stunting memiliki kelemahan mental, bodoh, kerdil, dan penyakitan! Jika hal ini terjadi dimasa yang akan datang, maka sudah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami penurunan indeks kualitas manusia nya, pembangunan nasional bidang sumberdaya manusia akan terganggu.Â
Kementerian Agama yang menjadi leading sector keberagamaan antar umat secara kelembagaan terlibat aktif, bahkan secara lintas sektoral.Â
Terkait isu penurunan stunting, beberapa program unggulan prioritas dilaksanakan sebagai tanggung jawab terhadap masyarakat Islam, terutama pada sektor penyiapan keluarga berkualitas dengan melakukan bimbingan perkawinan secara bertahap pada tiap jenjang usia, ada program BRUS, bimbingan remaja usia sekolah, BRUN, bimbingan perkawinan pranikah hingga pemberdayaan ekonomi umat dalam rangka revitalisasi KUA yang mengangkat keberadaan KUA next level, KUA dengan wajah baru, modern yang menjadi pusat layanan keagamaan (PUSAKA SAKINAH) garda depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H