Disuatu tempat dikota Surabaya, izinkan aku menceritakan kisahku. Namaku Asya Fatiha Putri, aku anak kedua dari tiga bersaudara. Teman-teman memanggilku Asya. Aku duduk dikelas 4 SD, aku adalah anak yang rajin dan suka dengan matematika. Keseharianku dipenuhi dengan canda tawa yang tidak ada habisnya karena memiliki teman yang amat sangat baik padaku. Guru-guru mengenalku dengan sangat baik, dan kesempatan itu tidak akan aku sia-siakan. Proses Belajarku semakin meningkat, aku mengikuti les matematika sepulang sekolah dan mendapat jadwal seminggu tiga kali. Ibu dan ayah selalu memberikan dukungannya kepadaku. Segala hal yang aku raih selalu diapresiasi walaupun tidak dengan memberikan barang-barang mewah, hanya ucapan dan pelukan yang mereka berikan.
Suatu ketika aku sangat ingin berjualan agar bisa meringankan beban ibu dan ayahku. Setidaknya untuk jajanku setiap harinya saja. "Ibu ada coklat untuk kalian" ujar ibuku sambil memberikannya kepadaku dan kakakku. "Beli dimana coklatnya bu?" tanyaku kepada ibu karena rasa ingin tau dan berfikir bisa menjual coklat itu kepada teman-temanku. "Punya bu sari de" setelah menjawab pertanyaanku, ibu pergi meninggalkanku dan kakak diruang tengah. Tiba-tiba terbesit dipikiranku  bahwasannya hal ini mungkin hal yang harus aku coba. Kalau tidak aku coba bagaimana aku bisa tau? Itu pikirku.
Akhirnya aku menemui bu Sari dan menyampaikan bahwasannya aku ingin menjualkan coklat-coklatnya disekolahku. Dan bu Sari menyetujuinya, rasanya senang sekali diberikan kesempatan untuk mencoba hal yang sangat aku inginkan. Seiring berjalannya waktu teman-teman mengenalku karena aku berjualan coklat, tapi sangat disayangkan aku merasa sedih ketika ada anak lain yang memanggilku "Hei tukang coklat!". Aku tau ini hal yang tidak harus aku masukkan kedalam hati, tapi dengan usiaku yang masih tergolong anak kecil, wajar jika aku merasa sedih. Tapi ibuku bangga padaku karena semenjak aku menjual coklat, aku punya uang jajan sendiri setiap harinya. Itu pengalaman yang paling berharga untukku.
 Menginjak kelas 5-6 aku aktif dalam bidang akademik dan non-akademik. Aku diikut sertakan dalam acara 02SN menjadi atlet lari mewakili sekolahku, aku terpilih dari 3 orang disekolahku untuk olimpiade matematika, aku juga menjadi pasukan khusus pramuka disekolahku, dan aku diikut sertakan lomba senam mewakili sekolahku Bersama teman-temanku. Rasanya sangat senang karena dititik akhirku meninggalkan sekolah, aku punya kenangan yang indah untuk diriku, temanku, guruku, dan orangtuaku.
Sampai pada titik ahkirku disekolah ini yaitu wisuda. Rasa tegang, senang, sedih jadi campur, dan hal yang paling aku takutkan adalah tidak terpanggilnya namaku saat pengumaman nilai terbaik. Keringat dingin dan dada yang menggebu aku rasakan saat pembacaan 6 nilai terbaik disetiap kelasnya. Ibuku mendampingiku sambil meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja dengan terpanggil atau tidak terpanggilnya diriku keatas panggung. Urutan 6,5, dan 4 sudah terpanggil dan tidak ada namaku didalamnya. Rasa takut semakin menyelimuti, takut akan tidak bisa membahagiakan orangtuaku. Aku berharap namaku ada diurutan ketiga karena aku tidak yakin kalau namaku ada diurutan pertama atau kedua. Namun nama ketiga yang disebutkan bukan namaku, disitu air mataku sudah membendung dan jatuh satu-persatu.
Mengingat prestasi yang sudah kudapatkan dari kelas 1 rasanya sedih jika aku tidak mendapatkan posisi 6 besar tersebut, karena aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan posisiku diperingkat 10 besar, 5 besar, bahkan 3 besar. Â Tapi tuhan baik, namaku disebut diurutan kedua "Asya Fatiha Putri, putri dari bapa ahmad" ujar MC dipanggung. Tangisku pecah, aku menangis memeluk ibuku dan segera berlari menaiki panggung. Cemas yang aku rasakan berganti menjadi haru yang sangat mendalam. Ayahku disebut, aku anak ayah dipanggil keatas panggung sebagai lulusan dengan nilai terbaik kedua. Walaupun ayahku tidak ikut pada hari itu, tapi ibuku melihat keberhasilanku dan ibuku sangat bangga padaku. Aku sangat-sangat bersyukur dengan semua hal yang aku dapatkan disekolah ini.
Beberapa bulan setelah kelulusan, adalah masa dimana diriku menentukan kemana kaki ini akan berpijak selanjutnya. Rencana-rencana sudah kubangun dengan kehendakku, tapi Tuhan berkata lain. Suatu hari disore yang amat sangat damai, ibu dan ayahku pergi ke masjid untuk menghadiri kajian. Selepas itu ibu dan ayahku pulang kerumah dan menghampiri kami yang sedang menonton TV didepan . " De, kamu lanjutkan SMP mu dipesantren ya" ujar ibuku kepada kami sambil bermain mata dengan ayahku. Tidak mungkin adikku yang paling kecil disuruh kepondok, maka dari itu 'De' yang mereka maksud pasti diriku.
Bingung? ya aku sangat bingung, mendadak sekali orangtuaku mengatakan hal itu kepadaku. Mereka mengatakannya setelah aku Menyusun rencanaku. Sangat sedih rasanya karena aku sudah berniat untuk meningkatkan kualitas matematikaku. "Kenapa bu, yah? aku udah punya rencana mau kemana aku akan melanjutkan sekolahku, kenapa tiba-tiba bilang begitu?" Ucapku yang merasa sedih akan tetapi ingin tau alasan apa yang membuat orangtuaku berkata demikian. "Tadi ibu dan ayah pergi kemasjid buat kajian, lalu pengisi acaranya anak perempuan berumur 13 tahun yang sudah hafidz qur'an. Ibu dan ayah langsung inget kamu, ibu dan ayah mau kamu masuk pesantren. Gaharus hafal 30 juz tapi ibu mau kamu paham agama karna ibu mau kalo ibu sama ayah udah gaada, anak-anak ibu bisa doain ibu sama ayah. Dan ibu mau kamu bisa jadi guru terbaik buat anak kamu nanti" ibuku mengucapkannya dengan muka penuh harap begitupun ayahku.
"Aku gatau bu, bingung" jawabku kepada mereka. "Mau ya de, ibu beliin apa yang kamu mau tapi kamu masuk pesantren ya" jawab ibuku saat itu. Aku sedikit goyah karena pada saat itu aku sangat menginginkan handphone, dan disisi lain aku sangat ingin mengikuti keinginan orangtuaku. "Iya bu, yah aku mau masuk pesantren" mendengar jawabanku, ibu dan ayahku langsung memeluk diriku dengan haru, dan ibuku menangis karena bahagia. Namun, takdir berkata lain.
Gaji ayahku tidak keluar sudah beberapa bulan sedangkan pada saat itu aku harus masuk pondok, adikku harus daftar ulang kenaikan kelasnya, begitupun kakakku. 23 tahun ayahku bekerja diperusahaan itu akan tetapi tidak ada kenaikan gaji sama sekali. Aku sebagai anak sangat sedih mendengar hal itu, betapa dzholimnya Perusahaan tersebut kepada ayahku. Pada akhirnya ayahku memutuskan untuk resign, ayahku mendapat pesangon 150 juta. Lalu uang itu dipakai untuk membuat studio dubbing, membeli kulkas, dan biaya sekolah kami. Sehari setelah aku memutuskan untuk masuk pesantren, kakakku juga ingin masuk pesantren karena ingin menemaniku dan menjagaku disana. Maka dari itu biaya untuk memasukkan kami kesana beserta keperluan yang kami siapkan hampir menginjak 25 juta.
Rencana ayahku membuat studio karena akan dijadikan ladang rezekinya melalui job dubbing, karena ayahku mahir didunia dubbing. Ayaku sudah belajar dubbing jauh sebelum ayahku bekerja menjadi karyawan diperusahaan tersebut. Dan kulkas yang dibeli ayahku bertujuan untuk mengganti kulkasku yang sudah tidak layak pakai dan untuk dijadikan sarana berjualan es oleh ibuku. Akhirnya tiba dimana kami pergi ke mall untuk membeli hp untukku dan kakakku, kami Sangat senang mendapatkan apa yang kami inginkan sejak lama. pembelian barang-barang untuk keperluan aku dan kakak disana sudah selesai dan tibalah hari dimana kami diantarkan kepesantren. Rasanya sedih sekali jauh dari orangtua.
Hari demi hari aku menangis karna rindu ibu dan ayah, teman-teman baruku dijenguk seminggu sekali namun diriku sebulan sekali. Makanan yang sangat membosankan dan antrian yang Panjang menjadi hal yang sangat aku jengkelkan disana. Bukan hanya antri makan, tetapi antri mandi, dan antri jajan. Butuh proses untukku beradaptasi dengan semua itu. Tapi untungnya ada kakakku, apapun yang kurasa pasti kuceritakan padanya. Dan hal yang sangat membuatku ingin berhenti adalah pelajarannya. Ya, kukira walaupun dipondok aku tetap bisa mengembangkan matematikaku tapi ternyata tidak, aku harus mempelajari 20 mata Pelajaran dan dominan diisi oleh Pelajaran pondok.
 Kukira itu tidak akan mengganggu konsenku pada matematikaku, tapi ternyata nilaiku hancur karena tidak bisa mengarahkan semua fokusku pada matematika. Fokusku tertuju pada Pelajaran pondok, dengan Pelajaran yang dominan mengandalkan hafalan membuatku acuh tak acuh dengan matematika. Karena syarat kenaikan kelas adalah nilai pondok yang bagus, bukan nilai Pelajaran umum. Aku menduduki peringkat 6 dikelasku dan aku merasa senang karena aku ada diantara orang-orang pintar. Aku menduduki kelas paling unggul diangkatanku dari 8 kelas yang tersedia disana. Semakin lama prosesku semakin membaik disana, dan itu semua bisa terjadi karena do'a orangtua, kakakku yang sudah menemaniku dan mendengar seluruh keluh kesahku dan selalu ada untukku kapanpun dan dimanapun, dan terutama karena izin Tuhan.
Cobaan Kembali datang menghampiri keluargaku, covid menyerang warga Indonesia dan kami terkena dampaknya juga. Dampak akan surutnya pemasukan. Ditambah ayahku belum ada pekerjaan tetap dan uang dubbing pun tidak begitu mencukupi kebutuhan kami, masih banyak hal yang tidak teratasi. Bahkan usaat ibuku menginginkan bakso, ayahku tidak dapat membelikannya karena uang memang tidak ada. Aku mendengar hal itu sangat ingin menangis dan menyesal sudah masuk pesantren, karena uang biaya sekolahku dan kakakku disana seharusnya bisa untuk modal usaha yang lain atau untuk keperluan lain. Tapi ibu dan ayah selalu berkata padaku "Allah bakal ganti semuanya, dan kamu sama kaka lagi belajar agama Allah pasti denger do'a kalian. Percaya kalo suatu saat nanti semuanya bakal diganti sama Allah, dan percaya kalo rezeki udah diatur sama Allah".
Masa itu terasa berat terutama bagi ayahku sebagai kepala keluarga, beban yang ia tampung sangatlah banyak. Diam duduknya kacau pikirannya. Adikku belum membayar uang sekolah selama berbulan-bulan tapi Tuhan baik, adikku masih diizinkan untuk sekolah dan diberikan dispensasi oleh sekolah. Karena ayahku lebih mengutamakan sekolahku dan kakakku. Karena segala kegiatan kami ada disana terutama makan. Ayahku tidak ingin anak yang jauh dari jangkauannya tidak hidup dengan tenang. Kalian tau? kita hebat, tapi ayahku lebih hebat. Apapun yang terjadi ibu selalu melibatkannya dengan Tuhan. Selalu yakin akan adanya Tuhan, selalu yakin bahwasannya apapun yang terjadi didunia ini atas kehendak Tuhan, dan selalu yakin apapun yang terjadi pasti ada tujuannya, tapi hal itu tidak ada dipikiran kita karena itu semua sudah rencana sang pencipta.
Ayahku suka ragu akan hal itu, tapi ibu selalu meyakinkannya. Bahkan ayahku pernah berkata "Yang gak solat aja jadi orang kaya, kita yang solat gak kaya" aku hanya bisa Tarik nafas saja, karena aku tau ayahku sedang pusing dengan keadaan saat itu. Selama aku dan kaka dipesantren kami hanya bisa berdo'a semoga rezeki kami dimudahkan dan dilancarkan. Kalian tau? aku sempat tidak percaya akan satu hal yang terjadi, tetapi terjadi berulang-ulang kali. Ketika ibu membagi uang yang kita miliki kepada orang lain padahal uang kita hanya sedikit dan kebutuhan kami belum terpenuhi, Ayahku sering mengatakan  "Mana Allah mana? kita gapunya uang ni yaa Allah mana yaa Alah mana" ayah mengucapkan dengan nada bercanda tapi ibuku sensitif, "Istighfar yang, bakal diganti sama Allah, percaya sama Allah" jawab ibuku sambil menggelengkan kepalanya.
Kun fayakun jika Tuhan sudah berkehendak pasti ada jalannya, selalu ada rezeki yang datang setelah ibu berkata seperti itu, ayahku pun sampai kaget kenapa ada orang yang dengan cuma-cuma memberikan uangnya kepada kami. Memang takdir Tuhan tidak ada yang tau. Perjalanan aku dan kaka dipesantren lumayan Panjang, aku menghabiskan waktu 6 tahun sedangkan kakakku menghabiskan waktu 4 tahun. Karena kakakku masuk saat SMA. Awalnya membosankankan tapi lama-lama menyenangkan. Menyenangkan jika kita memiliki teman yang baik dan seru, kalo jaman sekarang disebut sefrekuensi.
Dari sana aku belajar menghargai orang lain, mendengarkan pendapat orang lain, menaati peraturan, menolong teman yang kesusahan bahkan sangat memikirkan dan peduli pada orang yang sedang ada dalam masalah. Kehidupan dipesantren sangat indah. Hidup Bersama dan saling melengkapi satu sama lain dengan yang tidak sedarah, tidak bersaudara bahkan tidak saling kenal awalnya. Kami hidup satu atap satu lingkup dan setiap detik bahkan menitnya kami bersama. Semua orang akan berfikir masuk peasntren adalah hal yang tidak menyenangkan tapi mereka salah, mungkin pandangannya akan berubah setelah mereka tau bagaimana kehidupan disana.
Tibalah aku menduduki kelas 2 SMA, sebutan disana adalah kelas 5 karena kelas 1 dimulai dari kelas 1 SMP. Pada waktu itu ekonomi keluarga membaik, sudah mulai membaik sejak aku kelas 4, karena ayahku diterima kerja dengan gaji diatas 6 juta. Disitu ayahku sudah bersyukur karena ayahku tidak yakin akan mendapat pekerjaan dan gaji diatas 5 juta dengan latar belakang lulusan SMA, dan gaji yang ayahku dapatkan sekarang lebih besar dua kali lipat dari gaji ayahku di Perusahaan sebelumnya. Kebayang bukan bekerja selama 25 tahun tapi gaji tidak ada penaikan sama sekali dan nominal nya sangat kecil untuk ukuran pegawai lama seperti ayahku? ya, gaji ayahku diperusahaan kemarin 3 juta. Tapi lagi-lagi Tuhan baik, Ternyata ayahku diterima karena ayahku punya pengalaman dan skill yang bagus, dibandingkan dengan lulusan-lulusan sarjana dikantor ayahku.
Pada saat itu adikku tidak memiliki handphone, sedangkan dia sudah menginjak kelas 1 SMP. Dan membutuhkan handphone sebagai alat bantunya untuk belajar dan mendapatkan informasi sekolah. Dan yang dia gunakan selama ini adalah handphoneku yang sudah tidak layak pakai dan sudah lemot bahkan sudah ada beberapa tombol yang tidak bisa digunakan. Dan ayahku tidak membelikannya handphone baru, ayahku bilang kalau adikku belum terlalu membutuhkannya dan tidak bilang apa-apa kepada ayahku. Aku yakin dalam hatinya pasti ingin punya handphone tapi adikku tidak berani mengatakannya karena takut permintaannya memberatkan ayahku. Dari situ aku mulai yakin kalau aku ingin membelikan handphone untuk adikku, aku ingin berjualan disana karena uang jajan bulanku tidak bisa kusisihkan karena akupun suka kekurangan karena kebutuhanku sangat banyak. 6 bulan usahaku akhirnya aku bisa mengumpulkan uang untuk adikku. Tetapi masih kurang setengah dari harga, awalnya aku meminta tolong kakakku untuk mencarikan handphone dengan budget yang kupunya.
 Tapi ayahku tau dan ayahku ingin membantuku, akhirnya aku dan ayahku patungan untuk membelikan adikku handphone. Sepertinya hati ayahku terenyuh ketika saat aku dan adikku melakukan panggilan video menggunakan handphone ayahku dia berkata bahwasannya dia diejek disekolah karena handphone yang dia gunakan sudah tidak layak pakai. Dia menyampaikan hal itu dengan tangis sesunggukan yang menyatakan bahwa dia benar-benar telah menahan diri sangat lama untuk membicarakan hal itu. Adikku sangat senang saat handphonenya datang, dia langsung tersenyum Bahagia dan memelukku juga ayahku dan ibuku. Tidak ada kakakku karena dia sedang berkuliah di Malang.
Memasuki kelas 3 disana, aku semakin pusing akan Pelajaran yang semakin rumit dan banyak, setiap tahunnya disana akan ada ujian kenaikan kelas yang dilakukan selama 30 hari, dan 1 hari nya ada 2 pelajaran. Sangat pusing bukan? Tapi akhirnya aku bisa melewatkan semuanya, dan aku bisa lulus dengan predikat jayyid jiddan, dengan rata-rata 8. Bahagia sekali ada dititik ini, dan Bahagia sekali karena gaji ayahku terus bertambah dan akhirnya hidup kami mulai tercukupi dan mulai normal, bahkan jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. "Asya Fatiha Putri dinyatakan diterima di universitas Brawijaya jurusan ekonomi dan bisnis S1" kalimat itu terpampang jelas dilayar laptopku. Bahagia sekali rasanya diterima berkuliah disana. Kini aku akan melanjutkan kisahku kesana dan berharap semua akan baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H