Mohon tunggu...
rafafaadhilah
rafafaadhilah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Film

Romantisme Dilan dan Milea: Menggali Makna dan Kelemahan dalam Trilogi Cinta Remaja

20 November 2024   09:48 Diperbarui: 20 November 2024   10:12 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trilogi film Dilan 1990, Dilan 1991, dan Milea: Suara dari Dilan adalah kisah cinta remaja yang penuh nostalgia dan emosi, berlatar di Bandung tahun 90-an. Film ini diadaptasi dari novel populer karya Pidi Baiq dan mengangkat cerita yang bisa bikin penonton tertawa, terharu, sampai teringat masa-masa cinta monyet.

Film pertama, Dilan 1990, memperkenalkan Dilan dan Milea, dua remaja SMA yang punya kepribadianyang sangat berbed tapi malah saling tertarik. Dilan, cowok yang berani, lucu, sedikit nakal, dan punya cara yang unik buat mendekati Milea, jadi karakter yang gampang diingat. Kata-kata Dilan yang terkesan "gombal" justru jadi daya tarik utama film ini. Misalnya, waktu dia bilang, "Rindu itu berat, biar aku saja" -- kata-kata ini jadi hits dan bikin banyak orang baper. Di film ini, kita lihat gimana Dilan bikin Milea merasa spesial dan nyaman, meskipun cara pendekatannya kadang out of the box dan bikin Milea kaget. Ceritanya ringan dan manis, membuat penonton menikmati kisah cinta ala remaja yang seru dan romantis.

Lanjut ke film kedua, Dilan 1991, cerita mulai lebih serius. Hubungan mereka mulai diwarnai masalah yang lebih dalam dan realistis. Di sini, kita lihat Dilan yang bukan cuma anak SMA biasa, dia juga anggota geng motor, yang akhirnya membawa masalah dalam hubungan mereka. Milea mulai cemas dengan pergaulan Dilan yang dianggapnya terlalu berbahaya, sementara Dilan merasa sulit lepas dari lingkungannya. Ini bikin hubungan mereka makin kompleks, karena dua-duanya punya keinginan dan cara pandang yang beda. Film ini bikin penonton sadar kalau cinta nggak selalu berjalan mulus -- kadang ada konflik, rasa cemburu, dan perbedaan prinsip yang muncul.

Film ketiga, Milea: Suara dari Dilan, adalah cerita dari sudut pandang Dilan. Film ini memperlihatkan apa yang ada di pikiran Dilan selama berhubungan dengan Milea. Kita diajak memahami keputusan-keputusan Dilan, termasuk kenapa dia kadang mengambil jalan yang nggak disukai Milea. Di sini, Dilan menjelaskan betapa sulitnya menyeimbangkan rasa cintanya pada Milea dengan kehidupannya yang penuh tantangan. Kita bisa melihat lebih jelas kenapa hubungan mereka akhirnya terasa makin berat dan sulit untuk dipertahankan.

Kritik

1. Cerita Terlalu Lambat: Kisah cinta Dilan dan Milea kadang terasa berulang dan membosankan.

2. Dialog Terasa Kaku: Kata-kata puitis Dilan kadang terdengar tidak alami untuk remaja.

3. Karakter Lain Kurang Ditonjolkan: Tokoh seperti Yugo dan teman-teman Dilan jarang disorot.

4. Konflik Kurang Kuat: Masalah di cerita terasa kurang mendalam, terutama soal geng motor.

5. Penutupan Cerita Terasa Kurang: Milea: Suara dari Dilan seperti hanya mengulang cerita tanpa ada yang baru.

Saran

1. Tampilkan Karakter Lain Lebih Banyak: Beri peran lebih untuk tokoh-tokoh selain Dilan dan Milea.

2. Tambah Konflik yang Menarik: Buat masalah yang lebih serius agar ceritanya lebih seru.

3. Buat Dialog Lebih Alami: Kurangi kata-kata yang terlalu puitis supaya lebih realistis.

4. Tampilkan Sudut Pandang yang Baru: Jangan hanya ulang cerita sebelumnya, berikan hal baru.

5. Lebih Kuatkan Nuansa 90-an: Perbanyak lagu dan gambar yang khas tahun 90-an untuk suasana lebih hidup.

Saran-saran ini bisa membuat film jadi lebih menarik dan mudah dipahami.

Secara keseluruhan, rate nya 9/10 . Trilogi ini memotret cinta pertama dengan segala keindahan dan kesulitannya. Buat penonton yang pernah ngalamin cinta pertama, film ini bisa bikin flashback ke masa remaja. Dilan dan Milea menunjukkan kalau cinta remaja itu manis, penuh kenangan, tapi juga nggak selamanya berakhir bahagia. Pesan dari film ini bisa dibilang cukup dalam, bahwa cinta pertama seringkali jadi pelajaran berharga, meski nggak berakhir di pelaminan. Film ini sukses bikin penonton tersenyum dan mungkin sedikit merasakan kembali 

baper-bapernya masa SMA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun