(Mikael Ekel Sadsuitubun-Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)
     Etika antroposentrisme sudah berkembang sejak filsuf Aristoteles. Cara pandang ini menganggap bahwa hanya manusia yang menjadi pusat dari segala sesuatu. Sebagai satu pandangan, antroposentrisme memiliki pemahaman tersendiri terhadap alam. Dalam pandangan antroposentrisme, manusia dilihat sebagai pihak yang paling berkuasa dibandingkan dengan makhluk hidup maupun hal lainnya yang ada di alam semesta. Hanya manusia yang memiliki nilai dank arena itu manusia berhak untuk melakukan apa saja terhadap alam bahkan ketika tindakan manusia tersebut merusak lingkungan hidup. Alam, selain manusia, dilihat sebagai pelengkap kebutuhan hidup manusia. Alam dilihat sebagai objek dan dengan demikian menjadi jelas bahwa manusia adalah subjek yang berkuasa untuk melakukan apa saja.
      Antroposentrisme tidak melihat nilai pada segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta baik makhluk yang hidup maupun yang mati. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pandangan antroposentrisme sama sekali tidak mengakui adanya hak asasi alam. Demikian juga pandangan antroposentrisme tidak melihat hubungan antara segala sesuatu yang ada dalam alam semesta: bahwa semuanya saling membutuhkan satu dengan yang lain: manusia membutuhkan tumbuhan, hewan, batu, tanah dan lainya demi kelangsungan hidupnya atau sebaliknya hewan membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam konteks pandangan ekosentrisme, antroposentrisme tidak melihat adanya jaring kehidupan, rantai kehidupan dalam alam semesta.
     Dalam pandangan antroposentrisme, hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, segala sesuatu yang ada dalam lingkungan hidup, hanyalah bersifat instrumentalistik. Artinya segala Sesuatu yang ada hanyalah bersifat sebagai pelengkap untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada hanyalah sebagai objek yang dapat siobjektivasi kapan saja dan sesuka hati jika demi kebutuhan hidup manusia dan itu bukanlah sesuatu yang salah. Kalaupun alam dipelihara, hal itu terjadi dalam kerangka pemikiran ini yakni demi pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan bukan karena segala sesuatu yang ada dalam lingkungan hidup memiliki nilai pada dirinya. Hal ini kiranya menjadi catatan yang perlu diperhatikan. Juga membantu untuk melihat sejauh mana pemahaman manusia akan kelestarian dan keutuhan alam ciptaan. Jangan sampai tindakan-tindakan yang kelihatannya ekologis sebenarnya didasari oleh mmotif tersebumnyi yang mengatasnamakan kebutuhan hidup manusia. Misalnya jangan sampai tindakan reboisasi sebenarnya tidak dimaksudkan untuk kelestarian dan keutuhan alam ciptaan melainkan karena manusia sudah mengalami krisis udara yang bersih sehingga perlu menanam berjuta-juta pohon demi menghasilkan oksigen yang berguna bagi hidup manusia dan lebih rusak lagi jika demi pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H