Mohon tunggu...
Ekel Sadsuitubun
Ekel Sadsuitubun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado dan Politeknik Negeri Ambon

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diskursus Para Pemikir Cina Setelah Mao Tze Tung

2 April 2023   11:03 Diperbarui: 2 April 2023   11:06 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus Para Pemikir Cina Setelah Mao Tze Tung!

 (Mikael Ekel Sadsuitubun-Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)

              Sesudah sekian lama terkurung di bawah determinisme Maois-Marxis kini para pemikir Cina mempertanyakan jati dirinya. Apa artinya menjadi manusia? Bagaimana mewujudkan kemanusiaan sejati? Dalam perdebatan dan diskusi, mereka menghadapi enam pokok persoalan filosofis yakni: a) apa itu kebenaran dan bagaimana kebenaran itu di uji? b) bagaimana individu, masyarakat dan kebudayaan saling terkait? c) apa sesungguhnya menyebabkan alienasi? d) sejauh mana Konfusianisme relevan bagi proses modernisasi Cina? e) bagaimana ilmu pengetahuan dan humanism dapat saling mendukung secara konstruktif? f) manakah jalan terbaik untuk memodernisasi kebudayaan Cina? Secara ringkas pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab sebagai berikut:

a). Hakikat dan Kriteria Kebenaran

        Pembaharuan pemikiran filsafat di Cina sesudah Mao wafat di mulai dengan mempertanyakan hakikat dan kriteria kebenaran. Selama lebih dari tiga decade, kebenaran diidentikan dengan apa yang diucapkan oleh pemimpin Partai Komunis. Artinya, apa saja yang dikatakan Partai, itulah yang harus di terima sebagai kebenaran. Partai Komunis merupakan ukuran kebenaran. Namun dalam suatu pertemuan Partai, almarhum Deng Xiaoping (1904-1997), menentang keyakinan Partainya sendiri sebagai ukuran kebenaran. 

Deng mendukung prinsip bahwa praksis merupakan kriteria kebenaran dan berniat mengaplikasikan prinsip tersebut dalam usaha reformasibidang ekonomi. Tetapi ia harus berhadapan lawan-lawan politiknya yang berhaluan Maois garis keras. Tantangan Deng tersebut ternyata memicu diskusi dan perdebatan luas mengenai hakikat dan kriteria kebenaran oleh kalangan intelektual Cina. 

Hasil pertama dari perlawanan itu adalah melemahnya pengaruh Partai Komunis dan menguatnya pemikiran-pemikiran baru yang di cetuskan oleh kaum intelektual Cina. Mereka umumnya cenderung mendukung kriteria kebenaran menurut pragmatism. Lebih penting lagi dari itu, berkembang pula suatu tradisi diskursus rasional. Setiap masalah penting yang dihadapi masyarakat Cina dibawah ke forum-forum diskusi dan dibedah secara rasional. Atas cara itu mulai berkembang keyakinan bahwa kebenaran sejati semestinya ditemukan dalam dialog rasional. Interpretasi terhadap kebenaran pun terbuka kepada siapa saja, dan tidak dimonopoli oleh Partai Komunis.

b). Interelasi antara Individu, Masyarakat dan Kebudayaan

          Dalam topik ini, kehendak yang kuat agar setiap individu dilihat dan dihargai sebagai pribadi manusia yang bermartabat luhur dan bernilai pada dirinya. Sebab selama ini kelas Partai Komunis memperlakukan individu-individu anggotanya tak lebih dari objek yang tak berarti.  Padahal setiap individu punya kebebasan dan nilai hidup yang harus dihormati. Hanya atas dasar martabat individu manusia yang bebas dan otonom itu, suatu kultur manusiawi dapat brtumbuh. Ciri kulutur manusiawi ialah pengakuan terhadap individu-individu sebagai subjek atau person otonom dan relasi social pun berlangsung tanpa mematikan otonomi subjek tersebut. Singkatnya, diskusi tersebut akhirnya membawa para pemikir kontemporer Cina kepada masalah tentang makna eksistensi manusia.

C). Tentang Alienasi

            Diskusi mengenai relasi antara individu dan masyarakat serta mengenai hakikat manusia segera menuntun pada perdebatan mengenai apakah visi Mao Tze-Tung mengenai komunisme utopian dan Deng Xiaoping tentang modernisasi pragmatic pada akhirnya hanya menghasilkan alienasi. seorang humanis bertanya, jika kriteria kebenaran ialah praksis, lantas apa yang harus menjadi kriteria bagi praksis yang berhasil? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun