AKAR MANUSIAWI KRISIS EKOLOGIS
(Mikael Ekel Sadsuitubun-Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)
     Artikel ini merupakn bentuk ringkasan bab III dari Ensiklik Laudato Si. Bagian ini hendak memperlihatkan bahwa krisis ekologis sesungguhnya berakar dan bersumber dari aktivitas manusia. Perilaku manusia yang tidak ekologis hendak menghancurkan alam, tempat manusia tinggal. Hal tersebut dikarenakan adanya paradigma teknokratis dominan.
1. TEKNOLOGI: KREATIVITAS DAN KEKUASAAN
     Manusia berada pada perkembangan dengan kekuatan teknologi yang maju. Hal ini harus disyukuri dan ber-semangat menghadapi peluang baru yang muncul. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah aktivitas manusia yang diberikan Allah. Teknologi telah membantu mengatasi yang buruk, menghambat dan membatasi manusia. Teknosains diarahkan dengan baik, dapat menghasilkan sarana-sarana yang berharga untuk meningkatkan kualitas hidup manusia baik itu fasilitas pribadi maupun fasilitas umum. Teknosains menghasilkan yang indah dan membantu manusia menguasai dunia kesenian. Karya kesenian dan musik memanfaatkan teknologi yang baru. Hal ini akan menghasilkan kepenuhan manusiawi yang khas.[1]Â
     Kemajuan teknologi yang diperoleh manusia mengahsilkan kekuasaan dahsyat. Namun tidak ada jaminan bahwa kekuasaan itu digunakan dengan baik. Misalnya manusia menciptakan bom-bom sebagai alat perang yang memiliki kekuatan untuk mematikan. Kemajuan teknologi belum mampu diolah dengan baik oleh manusia, karena manusia belum menerima pendidikan untuk menggunakan kekuasaan dengan baik. Kemajuan besar teknologi tidak sejalan dengan tanggung jawab, nilai-nilai dan hati nurani manusia.[2]Â
2. GLOBALISASI PARADIGMA TEKNOKRATIS
     Masalah lain adalah manusia menerima tekologi dan perkembangannya berdasarkan satu paradigma: manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek. Manusia bercampur tangan dan menguasai dan melupakan. Akibatnya manusia dan alam tidak lagi saling mengulurkan tangan dengan ramah. Akar dari masalah dunia sekarang adalah kecenderungan yang tidak disadari yakni manusia menciptakan produk-produk teknologi yang tidak netral yang akhirnya membentuk gaya hidup manusia pada kekuasaan yang bertujuan mencari kepentingan. Teknologi cenderung menyerap segala sesuatu termasuk manusia, dan teknologi bukanlah manfaat dan kesejahteraan umat manusia melainkan dominasi sehingga ruang setiap manusia untuk membuat keputusan, kebebasan dan ruang untuk berkreativitas sudah berkurang.[3]Â
     Paradigma ini juga mendominasi ekonomi dan politik. Ekonomi menerima setiap kemajuan teknologi yang membwa keuntungan tanpa berpikir kritis dan memperhatikan dampak negatif bagi manusia. Akibatnya alam rusak sehingga manusia dan alam mencapai penderitaan. Kekususan teknologi tidak mampu melihat secara keseluruhan. Oleh sebab itu, harus menggunakan paradigma filsafat dan etika sosial untuk berpikir secara kritis dalam mengolah lingkungan lingkungan hidup.[4]Â
     Budaya ekologis membutuhkan paradigma berbeda, pikiran, kebijakan, program pendidikan yang dapat menghadapi kemajuan teknologi. Namun, manusia harus mempunyai visi yang luas dan ada kebebasan untuk membatasi teknologi ke arah yang lebih baik. Manusia menjadi sadar bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak menjamin masa depan yang bahagia. Namun hanya menggunakan teknologi sebagai sarana kehidupan manusia dan alam serta berusaha membenarkan situasi dulu. Sangat penting untuk memperlambat langkah dan meliahat realitas dengan cara lain, menyambut baik kemajuan yang positif dan memulihkan kembali nilai-nilai.[5]  Â
3. KRISIS DAN DAMPAK ANTROPOSENTRISME MODERN