Mohon tunggu...
Ekel Sadsuitubun
Ekel Sadsuitubun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado dan Politeknik Negeri Ambon

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Akar Manusiawi Krisis Ekologis

25 Maret 2023   08:03 Diperbarui: 25 Maret 2023   08:16 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

AKAR MANUSIAWI KRISIS EKOLOGIS

(Mikael Ekel Sadsuitubun-Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)

         Artikel ini merupakn bentuk ringkasan bab III dari Ensiklik Laudato Si. Bagian ini hendak memperlihatkan bahwa krisis ekologis sesungguhnya berakar dan bersumber dari aktivitas manusia. Perilaku manusia yang tidak ekologis hendak menghancurkan alam, tempat manusia tinggal. Hal tersebut dikarenakan adanya paradigma teknokratis dominan.

1. TEKNOLOGI: KREATIVITAS DAN KEKUASAAN

         Manusia berada pada perkembangan dengan kekuatan teknologi yang maju. Hal ini harus disyukuri dan ber-semangat menghadapi peluang baru yang muncul. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah aktivitas manusia yang diberikan Allah. Teknologi telah membantu mengatasi yang buruk, menghambat dan membatasi manusia. Teknosains diarahkan dengan baik, dapat menghasilkan sarana-sarana yang berharga untuk meningkatkan kualitas hidup manusia baik itu fasilitas pribadi maupun fasilitas umum. Teknosains menghasilkan yang indah dan membantu manusia menguasai dunia kesenian. Karya kesenian dan musik memanfaatkan teknologi yang baru. Hal ini akan menghasilkan kepenuhan manusiawi yang khas.[1] 

         Kemajuan teknologi yang diperoleh manusia mengahsilkan kekuasaan dahsyat. Namun tidak ada jaminan bahwa kekuasaan itu digunakan dengan baik. Misalnya manusia menciptakan bom-bom sebagai alat perang yang memiliki kekuatan untuk mematikan. Kemajuan teknologi belum mampu diolah dengan baik oleh manusia, karena manusia belum menerima pendidikan untuk menggunakan kekuasaan dengan baik. Kemajuan besar teknologi tidak sejalan dengan tanggung jawab, nilai-nilai dan hati nurani manusia.[2] 

2. GLOBALISASI PARADIGMA TEKNOKRATIS

         Masalah lain adalah manusia menerima tekologi dan perkembangannya berdasarkan satu paradigma: manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek. Manusia bercampur tangan dan menguasai dan melupakan. Akibatnya manusia dan alam tidak lagi saling mengulurkan tangan dengan ramah. Akar dari masalah dunia sekarang adalah kecenderungan yang tidak disadari yakni manusia menciptakan produk-produk teknologi yang tidak netral yang akhirnya membentuk gaya hidup manusia pada kekuasaan yang bertujuan mencari kepentingan. Teknologi cenderung menyerap segala sesuatu termasuk manusia, dan teknologi bukanlah manfaat dan kesejahteraan umat manusia melainkan dominasi sehingga ruang setiap manusia untuk membuat keputusan, kebebasan dan ruang untuk berkreativitas sudah berkurang.[3] 

         Paradigma ini juga mendominasi ekonomi dan politik. Ekonomi menerima setiap kemajuan teknologi yang membwa keuntungan tanpa berpikir kritis dan memperhatikan dampak negatif bagi manusia. Akibatnya alam rusak sehingga manusia dan alam mencapai penderitaan. Kekususan teknologi tidak mampu melihat secara keseluruhan. Oleh sebab itu, harus menggunakan paradigma filsafat dan etika sosial untuk berpikir secara kritis dalam mengolah lingkungan lingkungan hidup.[4] 

         Budaya ekologis membutuhkan paradigma berbeda, pikiran, kebijakan, program pendidikan yang dapat menghadapi kemajuan teknologi. Namun, manusia harus mempunyai visi yang luas dan ada kebebasan untuk membatasi teknologi ke arah yang lebih baik. Manusia menjadi sadar bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak menjamin masa depan yang bahagia. Namun hanya menggunakan teknologi sebagai sarana kehidupan manusia dan alam serta berusaha membenarkan situasi dulu. Sangat penting untuk memperlambat langkah dan meliahat realitas dengan cara lain, menyambut baik kemajuan yang positif dan memulihkan kembali nilai-nilai.[5]   

3. KRISIS DAN DAMPAK ANTROPOSENTRISME MODERN

          Antroposentrisme modern menempatkan pola pikir teknis di atas realitas, karena manusia tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang berlaku, atau sebagai tempat perlindungan hidup. Sekarang saatnya untuk kembali memperhatikan kenyataan supaya pengembangan manusiawi dan sosial lebih sehat dan subur yang didukung dengan antropologi Kristiani yang memadai. Kurangnya perhatian dan kesadaran untuk mengakui dampak ekologis dan menjujung tinggi nilai orang miskin, embrio manusia atau oorang cacat, maka sulit melihat jeritan alam sendiri. Tidak seorangpun dapat mengabaikan kemanusiaan, karena tidak ada pembaruan alam tanpa pembaruan kemanusiaan.[6] 

          Pemikiran Kristiani memandang manusia memiliki martabat istimewa melebihi makhluk ciptaan lain. Oleh sebab itu untuk hubungan tepat dengan dunia ciptaan, tidak perlu melemahkan dimensi sosial manusia. Manusia dan alam saling terkait maka dibuthkan penghargaan di antara keduannya. Perlu mengembangkan sintesis baru yang mampu mengatasi pemikiran palsu. Hal ini senantiasa direfleksikan oleh Kristianitas yang telah diterimanya dari Yesus Kristus dan menyatakannnya kembali dalam dialog dengan situasi secara baru yang mengungkapkan kebaruan yang abadi.[7] 

Relativisme Praktis 

        Relativisme harus melayani kepentingan langsung dan yang membantu adalah logika untuk memahami sikap-sikap tertentu yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Budaya relativisme adalah penyakit yang mendorong orang untuk mengeksploitasi sesamanya dan memperlakukannya sebagai objek saja dan mewajibkannya untuk kerja paksa. Oleh karena itu, janganlah kita berpikir bahwa upaya politik dan kekuasaan dapat mencegah perilaku yang berdampak pada lingkungan hidup, apabila kebudayaan sudah korup dan tidak ada kebenaran obyektif maka perlu dihindari dengan adanya pemaksaan.[8] 

Kebutuhan untuk melindungi pekerjaan

         Dalam kisah penciptaan Allah menempatkan manusia untuk mengerjakannya agar menghasilkan buah. Dengan kata lain, manusia menjadi sarana Allah untuk meweujudkan potensi yang telah diberikan. Arti dan tujuan aktivitas manusia adalah membawa perubahan di bidang pekerjaan mulai dari pengembangan penelitian sosial sampai dengan proyek perkembangan teknologi. Manusia belajar mencari pematangan dan kekudusan dalam permenungan dan pekerjaan yang saling mempengaruhi. Hal itu membuat manusia lebih peduli dan  hormat terhadap lingkungan. Pekerjaan menjadi tempat penegembangan manusia dalam setiap dimensi kehidupan yang penting. Oleh karena itu, dalam realitas sosial global perlu memberi prioritas terhadapa akses pekejaan tetap bagi setiap orang. Tujuan utama pekerjaan adalah meningkatkan pengembangan manusia, membantu orang miskin dan solusi untuk mengatasi keadaan darurat serta  untuk hidup bermartabat. Agar terus ada lapangan pekerjaan, perlu memajukan ekonomi yang mendorong keragam produksi dan kreativitas kewirausahaan. Dengan demikian menghasilkan kekayaan dan dan memperbaiki dunia dan untuk kesejaheraan umum.[9] 

Teknologi biologis yang baru

           Kekuasaan manusia ada batasnya dan tidak boleh menyiksa binatang dan membunuhnya dengan cara yang tidak wajar. Gereja juga menghargai sumbangan studi dan aplikasi biologi yang dilengkapi dengan disiplin ilmu pengetahua yang dilakukan berdasarkan tanggung jawab dari manusia. Dalam hal ini, campur tangan manusia pada tumbuhan dan hewan dengan maksud untuk memanfaatkan peluang yang tersedia dalam realitas materiil. Ada kesulitan untuk tujuan pengobatan maupun pertanian karena ada perbedaan satu sama lain dan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang berbeda untuk mewujudkannya. Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi yang telah membantu untuk mencegah masalah-masalah yang tidak boleh dipandang reme. Oleh sebab itu, perlu adanya perhatian dan pemeliharaan yang bertanggung jawab secara terbuka. Namun di sisi lain, sungguh mencemaskan bahwa beberapa gerakan lingkungan kadang-kadang tidak menerapkan prisnsip-pinsip yang sama untuk hidup manusia.[10]

 

Daftar Pustaka

Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, terj. Martin Harun OFM. Jakarta: Penerbit Obor, 1984.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun