Mohon tunggu...
Rafaella Shiene Wijaya
Rafaella Shiene Wijaya Mohon Tunggu... Dokter - Mahasiswa Kedokteran FKUI 2019

Interests have no meaning without rests.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penerapan Diet Ketogenik

19 Agustus 2019   19:21 Diperbarui: 19 Agustus 2019   19:44 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun belakangan, beragam jenis diet populer banyak digemari masyarakat dan dicap ampuh untuk dapat menurunkan berat badan dalam waktu singkat. 

Tren beragam diet populer ini di kalangan anak muda juga tidak lepas dari pengaruh beragam sumber informasi di internet baik yang berasal dari aplikasi kebugaran, blogger, hingga figur publik dari televisi yang lebih dipercaya kebenaran informasi kesehatannya oleh anak-anak muda[1]. 

Salah satu diet populer yang umum diketahui dan dipraktikkan kalangan muda adalah diet ketogenik atau diet keto. Diet ini merupakan diet yang cukup menggugah bagi sebagian orang karena polanya yang berbeda dari diet penurunan berat badan kebanyakan yang cenderung diisi oleh sayur hijau dan buah-buahan serta makanan yang terasa hambar. 

Sebaliknya, diet keto menawarkan diet tinggi lemak dan protein serta rendah karbohidrat dengan rincian asupan makronutrien 55-60% asupan harian terdiri dari lemak, 30-33% protein, dan hanya 5-10% karbohidrat[2],[3].

Diet yang terlihat mudah dan nyaman dilakukan ini dipercaya dapat menurunkan berat badan dalam waktu singkat sehingga banyak dicoba oleh masyarakat tanpa mempertimbangkan opini profesional dan dampak positif serta negatifnya.

Diet ketogenik sendiri awalnya diperkenalkan sebagai terapi bagi penderita epilepsi pada anak, namun kemudian dipercaya ampuh sebagai metode penurunan berat badan dan pengobatan diabetes tipe 2[4]-[5]. 

Diet ini dianggap efektif dalam beberapa studi untuk menangani obesitas maupun bagi yang ingin memperbaiki penampilan dengan mempergunakan mekanisme mempertahankan tubuh pada kondisi ketosis, yaitu ketika tubuh kekurangan glukosa karena tidak mendapat asupan karbohidrat sehingga harus mencari bahan bakar lain untuk energi yaitu lemak dalam bentuk badan keton[6],[7],[8]. 

Secara fisiologis, tubuh kita memerlukan glukosa sebagai sumber energi utama baik untuk mengoksidasi lemak menjadi oksaloasetat melalui siklus Krebs dan juga untuk digunakan sebagai sumber nutrisi otak. Namun, dalam keadaan ketosis yang dicari dalam penerapan diet ketogenik, tubuh mengalami pengurangan asupan karbohidrat yang drastis sehingga kadar glukosa dalam tubuh juga sangat berkurang. Hal ini mengakibatkan sistem saraf pusat (otak) kita yang tidak dapat memanfaatkan asam lemak sebagai alternatif energi yang tersisa kekurangan sumber nutrisi dan energi, yang memaksa otak untuk mencari alternatif lain, yaitu badan keton yang diperoleh dari pemecahan lemak dalam organ hati [3]. 

 Beberapa dampak positif terkait penurunan berat badan dalam penerapan diet ketogenik di antaranya adalah menurunnya nafsu makan pada penderita obesitas dan terjadinya peningkatan pemecahan lemak (lipolisis)[9]-[10]. 

Bagi penderita epilepsi, diet yang pada awalnya diterapkan sebagai terapi bagi pasien epilepsi ini terbukti masih relevan dan dapat menurunkan laju kejadian kejang/ayan hingga 85%[11]. 

Bagi penderita diabetes tipe 2, diet ketogenik juga terbukti secara ilmiah dapat membantu mengontrol level HbA1c dalam darah yang terkait dengan jumlah glukosa terikat hemoglobin di dalam darah[12]. 

Meskipun banyak memiliki dampak positif, pola diet ini juga dapat membawa dampak merugikan bagi tubuh akibat adanya perubahan drastis terhadap asupan nutrisi. 

Pada beberapa hari pertama penerapan diet, tubuh mungkin akan mengalami kelesuan dan kondisi brain fog, atau sulit fokus karena otak tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. Selain itu, efek jangka pendek dari diet ini adalah sekumpulan gejala pusing, mual, insomnia, hingga konstipasi yang lebih umum disebut dengan keto flu. 

Sedangkan efek merugikan jangka panjang dari diet ini dapat mengakibatkan steatosis (penumpukan lemak pada jaringan hati), batu ginjal, dan kekurangan vitamin dan mineral akibat minim konsumsi sayur dan buah. Pelaku diet ketogenik juga dapat memiliki nafas bau alkohol akibat terjadinya ketonemia atau penguraian aseton menjadi isopropanol yang dapat disalahartikan sebagai tanda mabuk minuman keras[2].

 Mitos yang mengelilingi penerapan diet ini di antaranya ialah bahwa diet ini dapat mencegah atau menyembuhkan kanker atas dasar penggunaan glukosa sebagai sumber nutrisi utama pertumbuhan sel kanker[13]. Namun, sampai saat ini, belum terdapat bukti ilmiah yang cukup konsisten menjelaskan hubungan kedua variabel ini[14]. 

Mitos lainnya ialah pelaku diet keto dapat makan daging berlemak dan berkolesterol tinggi sepuasnya tanpa takut mengembangkan penyakit kardiovaskuler. 

Dalam hal ini, jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi selama melakukan diet tetap harus dipertimbangkan dengan konsultasi dietisien atau dokter karena diet ini tidak dapat sembarangan dilakukan dan harus mengikuti anjuran dokter berdasarkan kalkulasi kebutuhan asupan yang berbeda tiap pasien dan kasusnya [15]. 

Mitos lainnya adalah bahwa diet keto merupakan gaya hidup yang bisa diaplikasikan tanpa batasan waktu tanpa menimbulkan yo-yo effect atau kenaikan berat badan signifikan setelah diet dilakukan. 

Paoli7 dalam artikel jurnalnya menyebutkan bahwa belum ada data yang cukup untuk menentukan bahwa yo-yo effect atau kenaikan kembali berat badan setelah melakukan diet akan terjadi secara signifikan, namun Paoli menyebut bahwa dua periode terpisah pelaksanaan diet keto dengan penerapan diet Mediterranean di antaranya terbukti dapat menimbulkan efek penurunan berat badan yang signifikan tanpa mengembangkan risiko kesehatan lainnya dan kenaikan kembali berat badan. 

Durasi yang disarankan untuk penerapan diet keto juga bukanlah seumur hidup, melainkan dari minimum 2-3 minggu hingga 6-12 bulan. Diet ini merupakan diet yang tinggi risiko apabila tidak diikuti dengan anjuran dokter, konsultasi bagi yang tertarik melakukan diet ini sangat disarankan karena tidak semua diet cocok untuk semua orang.       

Referensi

[1] International Food Information Council Foundation. 2018 food and health survey [Internet]. NW (Washington, D.C.) : International Food Information Council Foundation; 2018 : 33-34 [cited 2019 Aug 17]. Available from: https://foodinsight.org/wp-content/uploads/2018/05/2018-FHS-Report-FINAL.pdf

[2] Masood W, Uppaluri KR. Ketogenic diet [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan. [cited 2019 Aug 18]. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499830/

[3] Shilpa J, Mohan V. Ketogenic diets : boon or bane?. Indian Journal of Medical Research [Internet]. 2018 Sep [cited 2019 Aug 18]; 148(3): 251--253. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6251269/#ref6

[4] Wheless JW. History of the ketogenic diet. Epilepsia. 2008;49(Suppl 8):3--5.

[5] McKenzie AL, Hallberg SJ, Creighton BC, Volk BM, Link TM, Abner MK, et al. A novel intervention including individualized nutritional recommendations reduces hemoglobin A1c level, medication use, and weight in type 2 diabetes. JMIR Diabetes. 2017;2:e5.

[6] Iacovides S, Meiring RM. The effect of a ketogenic diet versus a high-carbohydrate, low-fat diet on sleep, cognition, thyroid function, and cardiovascular health independent of weight loss: study protocol for a randomized controlled trial. Trials [Internet]. 2018 Jan 23 [cited 2019 Aug 18];19:62. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5782363/

[7] Paoli A. Ketogenic diet for obesity : friend or foe?. Int J Environ Res Public Health [Internet]. 2014 Feb 19 [cited 2019 Aug 18]; 11(2): 2092--2107. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3945587/#B1-ijerph-11-02092

[8] Bueno N.B., de Melo I.S., de Oliveira S.L., da Rocha Ataide T. Very-low-carbohydrate ketogenic diet v. Low-fat diet for long-term weight loss: A meta-analysis of randomised controlled trials. Br. J. Nutr. 2013;110:1178--1187. doi: 10.1017/S0007114513000548.

[9] Veldhorst M., Smeets A., Soenen S., Hochstenbach-Waelen A., Hursel R., Diepvens K., Lejeune M., Luscombe-Marsh N., Westerterp-Plantenga M. Protein-induced satiety: Effects and mechanisms of different proteins. Physiol. Behav. 2008;94:300--307. doi: 10.1016/j.physbeh.2008.01.003.

[10] Cahill G.F., Jr. Fuel metabolism in starvation. Annu. Rev. Nutr. 2006;26:1--22. doi: 10.1146/annurev.nutr.26.061505.111258.

[11] Martin K, Jackson CF, Levy RG, Cooper PN. Ketogenic diet and other dietary treatments for epilepsy. Cochrane Database Syst Rev. 2016;2:CD001903.

[12] Lennerz BS, Barton A, Bernstein RK, Dikeman RD, Diulus C, Hallberg S, et al. Management of type 1 diebetes with a very low-carbohydrate diet. Pediatrics [Internet]. 2018 Jun [cited 2019 Aug 18];141(6). Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29735574

[13] Branco AF, Ferreira A, Simes RF, Maglhaes-Novais S, Zehowski C, Cope E, et al. Ketogenic diets: from cancer to mitochondrial diseases and beyond. Eur J Clin Invest. 2016;46:285-298. [Abstract]

[14] Oliveira CL, Mattingly S, Schirrmacher R, Sawyer MB, Fine EJ, Prado CM. A nutritional perspective of ketogenic diet in cancer: a narrative review. J Acad Nutr Diet. 2017 Mar 30. [Epub ahead of print]

[15] UNM School of Medicine. The ketogenic diet [Internet]. Albuquerque (NM) : University of New Mexico; undated. [cited 2019 Aug 18]. Available from : https://hsc.unm.edu/health/patient-care/developmental-disabilities/docs/ketogenic-diet-eng.pdf [Continuum of Care]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun