Mohon tunggu...
Rafael Kasihraya Rahina
Rafael Kasihraya Rahina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar Sekolah Menengah Atas

Seorang Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buah Rejeki

25 Maret 2024   10:22 Diperbarui: 25 Maret 2024   10:52 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada sebuah rumah yang terlihat seperti gubuk dengan sebuah lahan sawah yang mengitari rumahnya. Tiba-tiba di tengah pagi yang sunyi, terdengarlah suara gaduh yang memecah kesunyian di pagi hari itu. Entah apalah suara itu, tiba-tiba saja ada ayam jantan yang berkokok kesana-kemari dengan cuitan burung di udara. Ayam-ayam itu hendak membangunkan Pak Beni yang sedang tertidur. “Sudah jam berapa ini?” tanyanya seorang diri dengan wajah yang penuh lelah. 

Duar…” terdengarlah suara keras yang secara tiba-tiba merasuk ke dalam gendang telinganya, sehingga membuatnya terkejut dan berlari terbirit-birit. Pak Beni segera bergegas beranjak dan keluar dari rumahnya untuk mencari sumber suara itu. Pak Beni melihat dari jauh, dan ia melihat sebuah mobil angkot yang sudah terparkir tepat di depan rumahnya dalam keadaan kosong tanpa sopir dan penumpang, sehingga ia merasa kebingungan dan bertanya-tanya, “Mobil angkot siapa ini? Apakah ini yang disebut dengan ‘rezeki yang datang dari sorga’? sedang bermimpi apa aku ini!?”. Ia pun masih terus bertanya-tanya dan dalam pikirnya, ia masih bermimpi. Namun tak lama kemudian, Pak Beni datang menghampiri dengan wajah yang penuh kebingungan dan kegirangan, karena ternyata pintu kendaraan itu sedang terbuka lebar seakan menanti kedatangannya. Tak ada yang tahu kapan rejeki itu datang. Namun setapak melangkah mendekati mobil angkot itu, Ia semakin mendengar suara seseorang yang sedang berbisik sambil bersungut, apalagi semakin terjadi pergerakan-pergerakan aneh yang mengundang rasa curiga.

Pak Beni berusaha mendekati mobil angkot itu dengan penuh waspada, apalagi waktu itu masih terlalu pagi untuk orang-orang yang berangkat bekerja. Tapak kaki yang mengendap setapak demi setapak hingga ia sampai di depan mobil angkot itu, ia sepertinya penasaran dengan orang yang sedang tidur terlentang di bawah mobil angkot itu, seperti orang yang habis terlindas pikirnya. Namun yang tak disangka, ternyata ia melihat bahwa orang tersebut masih bergerak, sehingga ia berusaha untuk memanggil orang tersebut dengan menepuk dan menggoyangkan kakinya.

“Pak…pak…apakah Bapak tidak apa-apa? Bapak kenapa ada di bawah angkot?” tanyanya dengan khawatir dan gelisah.

“Saya sedang mengecek mesin dan ban angkot, Bapak jangan banyak bertanya! Lebih baik Bapak segera pergi daripada mengganggu saya!” katanya dengan nada yang sedikit tinggi.

“Bapak itu bukannya teman sekolah saya dulu? Bapak namanya Pak Budi, bukan?” tanyanya dengan penasaran.

Halah malah pake nanya, sudah buruan bantu saya carikan bengkel! Ban saya lagi bocor ternyata,” sungutnya sambil nada membentak.

Ternyata oh ternyata, ia bertemu dengan kawan lamanya saat SD yang kini sudah berprofesi sebagai sopir angkot. Bukannya merasa senang, malah Pak Beni merasa kesal dan sedikit ogah-ogahan setelah mendengarkan cuitan keras dari teman lamanya itu, apalagi ia memintanya dengan sedikit memaksa. Namun, apa boleh buat? Pak Beni tidak ingin merusak relasi dengan kawan lamanya itu, sehingga mau tidak mau ia harus menurutinya dengan senang hati. Ia berusaha untuk mengurungkan niat baiknya selepas tertampar omongan dari temannya yang lumayan melekit untuk dirinya, sehingga ia mengalihkan hal itu dengan berkeliling desa sembari mencari bengkel atau tukang tambal ban terdekat. Namun sayangnya, apa yang dia inginkan tidak sesuai dengan ekspektasi dirinya, sehingga ia seperti orang gila yang berkeliling kesana-kemari tanpa arah dan tujuan yang jelas, dan ia sendiri pun tak tahu dimana tempat tambal ban itu berada. Apalagi, ia sadar dan cukup terkejut dengan matahari yang bergerak cepat dari Timur, sehingga pagi hari terasa panas dan semakin terik di tengah matahari yang selalu bersinar mengikutinya. Hawa yang semakin gerah di pagi hari membuat dirinya seperti meleleh, sehingga ia sempat bersungut-sungut dan berdesak kesal.

Ck…pagi-pagi gini kok sudah makin panas saja, aku harus berjalan kaki sampai kapan ini? Apalagi di sini kok sepi banget!” tanyanya dalam hati dengan penuh resah.

Walaupun Pak Beni merasa kesal dengan keputusan niatnya, Pak Beni tetap melanjutkan perjalanannya yang amat berat itu dengan keringat yang mulai mengucur deras hingga hampir membasahi seluruh area punggungnya. Mungkin ia sudah berusia 40 tahun dan sudah terlihat tua dengan uban di sekeliling ubun-ubun rambutnya, namun ia tetap mempertahankan niatnya untuk membantu kawannya itu, karena usia sudah bagaikan angka baginya. Setapak perjalanan panjang yang bercampur dengan rasa lelah ini malah membuat dirinya menjadi teringat akan pengalaman masa lalu ketika ia masih berusia sangat muda. Dalam benaknya, Ia teringat ketika ia selalu dibantu oleh kawannya itu ketika masih seusia anak SD, apalagi ketika ia pernah terjatuh dari sepeda saat sedang berjalan-jalan dengannya.

Entah kenapa pengalaman itu menjadi momen yang selalu diingat dalam benaknya, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa dirinya lupa membawa dompetnya. Ia seakan sudah menjadi orang yang pikun bagi dirinya sendiri, sehingga ia menyesal dan ingin segera pulang, karena rasa lelah ini yang membuat dirinya semakin terbayang-bayang dengan masa lalunya. Ia membanting topi yang ia kenakan itu dengan serentak mengatakan, “Sialan, betapa bodohnya diriku ini! kenapa aku tidak kembali pulang dan segera menggarap sawahku saja!? Huh…hanya membuang-buang waktu saja!” tanyanya dengan penuh rasa sesal karena ia merasa bahwa usahanya itu seperti kesia-siaan belaka.

Ia juga merasa bahwa dirinya seperti boneka polos yang tidak tahu apa-apa, karena niat baiknya itu malah membawa petaka bagi dirinya sendiri. Lama perjalanan membuat dirinya sudah mulai merasa lelah, karena perjalanan yang ditempuhnya sudah terbilang jauh sekitar 1 jam lamanya. Ia juga sudah berusaha untuk mengelilingi desa Jeruk hingga desa-desa di sekitarnya dengan minoritas penduduk yang tinggal, apalagi sebagian besar dari pekerjaan mereka adalah sebagai seorang petani. Rasa lelah yang semakin memuncak membuat dirinya menjadi tidak tahan lagi, sehingga ia jatuh tergeletak di bawah pohon seperti orang yang tidak sadarkan diri. Untungnya sebelum ia jatuh pingsan, ia berjalan tepat di bahu jalan yang masih berumput, di dekat perbatasan antara desa Batu dan desa Putih.

Selama ia jatuh pingsan, Pak Beni sama sekali tidak merasakan apa-apa pada saat itu. Ia merasakan dirinya seperti terhanyut dalam mimpinya yang sunyi senyap tak berbisik, sehingga ia hampir menggambarkan situasi dirinya seperti orang yang sudah mati. Di alam bawah sadarnya, ia tiba-tiba dipanggil untuk kembali sadar dari mimpinya itu dengan gigitan semut rangrang di kakinya yang cukup panas dan gatal. Ia terkejut dan mulai tersadar dari pingsannya setelah beberapa jam yang lalu. Ketika ia sudah tersadar kembali, pandangannya masih terasa berat akibat rasa pening yang masih ia rasakan. Perjalanan jauh tanpa makanan dan minuman ini membuat dirinya (terutama raganya) yang semakin tidak berenergi sama sekali.

Waduh….kepalaku pusing, perutku juga sudah mulai keroncongan, apalagi dompetku ketinggalan sejak pagi tadi. Mengapa aku harus bernasib seperti ini, Ya Tuhan. AKU INGIN CEPAT PULANG!” rengeknya dalam hati.


Di tengah pandangannya yang rabun dan masih berkunang-kunang seperti seseorang yang sedang mabuk berat, ia berusaha untuk bangkit berdiri hingga berkali-kali gagal. Namun ketika Pak Beni menolehkan kepalanya ke arah kanan, ia melihat seorang pengendara motor yang tak sengaja menjatuhkan uangnya lalu pergi. Hal ini tentu menjadi sebuah pembawa nasib yang baik bagi diri Pak Beni, sehingga ia sigap berlari untuk mengambil dan membawa uang itu.

“Akhirnya….lumayan ada uang yang jatuh, aku bisa membeli makan siang untuk hari ini. Mumpung tadi pagi aku juga belum sempat sarapan karena kawan sialanku yang datang cuman cari gara-gara, mending aku mampir makan siang di warung dulu,” Katanya dengan girang hati meski sedikit kesal.


Dari uang yang berhasil ia dapatkan di jalan, ia merasa bahwa uang itu yang nantinya akan menjadi penyelamat nasib hidupnya, sehingga segenap rasa lelah dan pusing pun juga tiba-tiba hilang seketika. Ia pun segera cepat-cepat mencari warung makan terdekat hingga sampai di Kantor Kelurahan Desa Putih. Di sana, ia berhenti dan beristirahat sejenak sambil memandang lingkungan pedesaan sekitar. Tepat di seberang kantor kelurahan itu, ia melihat banyak orang yang menyantap pesanannya dengan lahap di warung makan nasi rames itu, sehingga hal itu membuat diri Pak Beni merasa tergiur dan perut yang keroncongan pun juga semakin memuncak.

Ia juga sempat membaca menu yang tertera di spanduk warung itu dengan tulisan “TERSEDIA ANEKA MACAM LAUK YANG MELIMPAH DENGAN HARGA YANG MURAH MERIAH”. Dari tulisan itu, ia semakin tergoda untuk datang ke warung tersebut apalagi sudah tercium dari jauh aroma nasi dan lauk pauk yang semakin mengundang rasa lapar, dan hasrat nafsu makannya juga semakin bergejolak. Oleh karena hal itulah, Ia pun langsung sergap bersiap diri untuk menyeberangi jalan yang ramai menjelang siang hari, “Tin..tin..tin” bunyi kendaraan lewat yang hampir menabrak dirinya. Ia pun terkejut karena setapak langkahnya hampir merenggut nyawanya di jalan, sehingga ia hampir terjungkal ke belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun