Mohon tunggu...
Rafael Danish
Rafael Danish Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seorang penulis amatiran. Saat ini sedang berjuang untuk masuk ke Teknik Elektro Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dihormati atau Diabaikan? Lagu "Indonesia Raya" Hanya Sekadar Formalitas?

3 Februari 2025   22:32 Diperbarui: 3 Februari 2025   22:30 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kali kita mendengar lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan pada berbagai kesempatan, mulai dari upacara bendera, suatu acara resmi atau formal, hingga pada stasiun televisi dan radio. Ditambah lagi, baru-baru ini Presiden Indonesia periode 2024 -- 2029, Prabowo Subianto, memberikan usulan bahwasanya lagu kebangsaan Indonesia tersebut juga diwajibkan untuk diperdengarkan pada tempat-tempat umum, layaknya supermarket, tempat wisata, kantor, sekolah, maupun universitas. Beliau juga mengusulkan agar seluruh stasiun televisi dan radio memainkan lagu tersebut secara serentak setiap pukul enam pagi. Hal ini dimaksudkannya untuk membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia. 

Meskipun telah dimainkan di berbagai kesempatan, nyatanya masih banyak sekali masyarakat yang tidak memedulikan lagu tersebut dan hanya fokus pada aktivitasnya masing-masing. Tidak jarang kita melihat satu atau dua orang di banyak tempat-tempat umum yang bahkan tidak berdiri saat lagu tersebut dimainkan. Begitu pula ketika "Indonesia Raya" dimainkan saat dimulainya suatu acara, selalu ada saja oknum tertentu yang masih enggan beranjak dari tempat duduknya untuk menghormati lagu tersebut. Kemungkinan besar mereka menganggap bahwa dimainkannya lagu kebangsaan nasional hanyalah sekadar formalitas. Ini adalah bukti bahwa rasa nasionalisme di kalangan masyarakat abad ke-21 telah memudar dengan perlahan. 

Lagu "Indonesia Raya" sendiri diciptakan oleh W. R. Supratman, yang kemudian ia memainkan ketiga stanza lagu tersebut dengan menggunakan biolanya pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Sejak saat itu, semangat para pejuang kemerdekaan semakin membara. Lagu tersebut kemudian dimainkan kembali pada kongres Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta pada 18 -- 20 Desember 1929. Soekarno, ketua umum PNI saat itu, selalu menyerukan agar hadirin senantiasa berdiri ketika lagu kebangsaan dimainkan. Kepopuleran lagu ini bahkan membuat pemerintah Hindia Belanda saat itu mengeluarkan edaran untuk melarang masyarakat berdiri ketika lagu "Indonesia Raya" dimainkan. Meski begitu, tak jarang pejuang kemerdekaan yang mengakali larangan tersebut.

Hal tersebut seakan berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Padahal, Forum Rakyat Yogya Untuk Indonesia (For You Indonesia) pernah mengadakan survei terkait sikap masyarakat terhadap dimainkannya "Indonesia Raya" pada berbagai kesempatan. Dari 591 responden, 95,4 persen responden menyetujui lagu "Indonesia Raya" dimainkan secara berkelanjutan di ruang terbuka. Sebanyak 61,8 persen setuju agar lagu kebangsaan dimainkan setiap hari. Responden-responden tersebut juga menyatakan bersedia berdiri saat lagu diperdengarkan. Menurut Widihasto Wasana Putra, ketua Ketua Departemen Politik dan Advokasi Masyarakat, pada Kamis (6/5/2021), hasil survei tersebut bukanlah pedoman baku dan tetap perlu diuji di lapangan dan jika ditradisikan maka akan terbangun kebiasaan yang khas dan berkarakter. Pada akhirnya, hasil survei tersebut bisa dibilang "omong doang" ketika kita melihat kenyataannya di lapangan.

Padahal, tidak berdiri saat lagu kebangsaan dimainkan adalah salah satu bentuk pelanggaran undang-undang. Dinyatakan pada Pasal 62 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, "Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat." Ini adalah indikasi bahwa masih banyak masyarakat yang rasa nasionalismenya telah dikalahkan oleh berbagai macam hal lainnya. 

Lunturnya nasionalisme pada masyarakat modern dapat disebabkan oleh beberapa hal. Globalisasi adalah salah satu problematika utama yang dapat membuat masyarakat secara tidak langsung "terdoktrin" dengan budaya luar, hingga membuat dirinya lupa akan kebanggaannya terhadap Indonesia. Selain itu, kurangnya edukasi kenegaraan, seperti pada pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang semakin berkurang hingga sering kali dianggap remeh oleh kebanyakan siswa. Yang tidak kalah penting, kurangnya ketegasan pada sekolah-sekolah yang telah menerapkan kewajiban memainkan lagu kebangsaan, karena terdapat beberapa sekolah yang hanya memainkan lagu "Indonesia Raya" sebagai formalitas belaka. Padahal, beberapa oknum guru pun sama saja kelakuannya, hingga dicontoh oleh siswa-siswinya.

Inilah saatnya bagi diri kita masing-masing untuk menyadari pentingnya rasa nasionalisme terhadap Indonesia. Jika kita tidak merasa demikian, Indonesia yang kita ketahui sekarang mungkin tidak akan bertahan lama. Mulailah dari hal-hal kecil yang mungkin kita anggap sepele, seperti berdiri saat lagu kebangsaan dimainkan. Lagu "Indonesia Raya" sudah sepantasnya kita hayati, bukan sekadar dimainkan sebagai formalitas acara. Jika bukan kita yang menghormati simbol negara sendiri, siapa lagi? 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun