Mohon tunggu...
Rafael Angwarmas
Rafael Angwarmas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STF-SP

"Sebesar apa pun motivasi yang kau tanamkan dalam dirimu, jika dibarengi dengan tindakan pasif, percayalah hasil tak akan pernah kau tuai"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Drama Korea Vs Drama Politik

29 Agustus 2024   15:54 Diperbarui: 29 Agustus 2024   16:03 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ttps://radiosionfoni.com

Drama Korea seringkali menjadi tontonan asik di negeri ini. Tetapi akhir-akhir ini ada drama terbaru yang menarik, bahkan retensi penontonnya dalam seminggu bisa mencapai puluhan juta orang. Saking menariknya, para penonton seakan berlomba-lomba turun ke jalan guna melakukan aksi protes agar tayangan drama terbaru ini dihentikan. Jika tidak dihentikan, semakin banyak orang akan kecanduan dan bisa berakibat fatal bagi masa depan bangsa. Selama ini juga, kita mengira bahwa drama-drama Korea adalah tontonan yang penuh dengan fiktif dan plot twist, rupanya ada drama lain yang lebih absurd di negeri sendiri, yakni “Drama Politik Indonesia”.

Drama dimulai pada Selasa, 20 Agustus 2024, saat Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan dengan mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah. MK memutuskan bahwa partai atau gabungan partai politik tidak lagi harus memiliki 20% kursi DPR atau 25% suara sah untuk mencalonkan kepala daerah. Hal ini membuka pintu bagi lebih banyak kandidat dan partai untuk maju dalam pemilihan. Selain itu, syarat usia calon gubernur juga diubah menjadi 30 tahun saat ditetapkan oleh KPU, memberikan peluang bagi generasi muda untuk terlibat dalam politik. Sebuah keputusan yang dianggap progresif dan di luar kebiasaan politik yang selama ini cenderung menyodorkan hanya sedikit pilihan hasil kesepakatan para elite.

Namun, drama ini tak berhenti di situ. Seperti dalam episode penuh plot twist yang membuat penonton kesal, DPR muncul sebagai antagonis dengan agenda terselubung. Hanya sehari setelah keputusan MK, DPR menggelar rapat kilat untuk mengembalikan aturan ambang batas pencalonan ke format lama. Sementara itu, syarat usia tetap diubah sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) menjadi 30 tahun saat dilantik, seakan membuka karpet merah bagi sosok Kaesang, putra Presiden, yang memang sudah dicalonkan oleh beberapa partai politik. Langkah kilat DPR ini seperti adegan karakter jahat dalam drama Korea yang beraksi cepat untuk mengacaukan rencana baik tokoh protagonis.

Bagaimana mungkin sebuah Undang-Undang dapat disahkan hanya dalam sehari? Tidak ada naskah akademis, tidak ada sosialisasi, apalagi partisipasi rakyat dalam proses pembentukan kebijakan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Dalam skenario drama politik ini, rakyat bukanlah pemeran utama yang suaranya didengar, melainkan lebih seperti figuran tambahan yang keberadaannya diabaikan.

Di sinilah letak persoalannya: ini bukan sekadar tentang pemeran utama seperti Kaesang, Anies, Ahok, atau PDI Perjuangan. Ini adalah tentang bagaimana proses bernegara dilaksanakan sesuai  UUD 1945. Situasi demikian seperti melecehkan dan menodai prinsip-prinsip demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi yang sehat, kebijakan publik tidak bisa ditentukan dengan cara seperti ini, seperti alur cerita yang dipaksa demi mencapai ending yang diinginkan oleh segelintir pihak.

Seperti dalam drama Korea di mana karakter-karakter harus menghadapi konflik besar untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik, kita sebagai rakyat harus memastikan bahwa "drama politik" ini tidak berakhir dengan cerita buruk. Penonton perlu menyadari apa yang sebenarnya terjadi: bahwa pemeran DPR tidak lagi bertindak mencerminkan kepentingan rakyat, melainkan memainkan peran sebagai karakter antagonis. Jika Presiden dan DPR terus menentang putusan MK dengan tidak mengikuti alur cerita yang sebenarnya, mereka berisiko dianggap sebagai pemain drama yang tidak layak. Situasi ini jika terus berlanjut, akan semakin memicu kekecewaan penonton.

Akhirnya, seperti dalam drama, kita menunggu klimaks di mana semua pihak harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Hanya saja, ini bukan drama Korea; ini adalah realitas politik Indonesia. Dan kita semua berhak atas sebuah ending yang lebih baik, di mana nilai-nilai  ketuhana, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, tetap menjadi pilar utama negara kita. Saatnya berhenti bermain-main dengan demokrasi dan mulai bekerja demi rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun