Parada dan Sebuah Ironi
Dari catatan penugasan Parada, beliau sudah 4 (empat) tahun bertugas di Sibolga. Waktu yang tidak singkat, mengingat Parada harus menempuh sekitar 12 jam perjalanan darat jika hendak pulang ke Medan, tempat istri dan orangtuanya bermukim. Perjalanan panjang untuk sebuah kerinduan. Repetisi yang dilakukan atas nama cinta.
Kepergiannya ke Gunung Sitoli dalam penugasan terakhirnya, meninggalkan sebuah ironi. Parada menagih pajak yang kelak digunakan untuk pembiayaan pembangunan, termasuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang kini tengah digarap pemerintah. Ironisnya, seperti diketahui, Kepulauan Nias, termasuk Gunung Sitoli, mengalami krisis listrik dalam sebulan terakhir. Pemadaman Listrik bahkan bisa berlangsung selama 12 jam. Derita yang dialami warga disana seharusnya tidak terjadi jika pemerintah dapat terus membangun infrastruktur kelistrikan di seluruh tanah air lewat penerimaan yang dihimpun dari pajak. Geliat pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari usaha Parada dan Direktorat Jenderal Pajak dalam mengumpulkan penerimaan negara.
Parada kini telah pergi, menyisakan duka dan luka yang mungkin sulit hilang dari ingatan kita. Pelaku dan siapapun yang terlibat harus diberikan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang dilakukannya. Jangan sampai jatuh 'Parada' lain yang harus gugur dengan cara yang tidak bisa diterima.
Sebuah ode untuk Parada, pahlawan yang memenangkan hati kita. Selamat jalan menuju keabadian, kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H