[caption caption="Ode Untuk Parada"][/caption]Hanya ada dua yang pasti di dunia ini, pajak dan kematian. Parada Toga Fransriano Siahaan dan Soza Nolo Lase akhirnya bersinggungan dengan adagium tersebut, gugur dalam tugas, menjemput kematian saat menagih pajak.
Nias adalah destinasi wisata yang menarik. Pantai landainya dengan ombak yang menantang menjadi alasan banyak turis mengunjungi surga kecil di tengah Samudera Hindia ini.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, 12 April 2016, menjadi destinasi terakhir dalam episode kehidupan Parada-Soza, mereka gugur dalam sebuah tugas negara, saat melakoni pekerjaan sebagai alat negara, sekaligus representasi negara dalam mengemban amanah yang mulia : mengumpulkan penerimaan negara dari pajak.
Nias, yang terlentak di pantai barat Sumatera, harus ditempuh 1 (satu) malam perjalanan laut dari Sibolga. Tak jarang kapal yang ditumpangi harus bersandar balik ke Sibolga akibat arus laut dan cuaca yang tak bersahabat. Sungguh bukanlah sebuah penugasan yang mudah bagi Parada. Letih perjalanan yang belum hilang harus ditebus dengan dinginnya kematian yang menjemput setibanya di Gunung Sitoli. Epos pilu nan tragis.
Parada, anak sulung keluarga Siahaan, tulang punggung sekaligus pemimpin dalam keluarga pasca meninggalnya sang ayah saat Parada belia, kini telah tiada, pergi menuju keabadian. Jurusita Pajak Negara (JSPN), jabatan yang diemban Parada setelah 10 tahun mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak, tahun ini Parada harusnya dianugerahi Satyalancana Karya Satya, sebuah penghargaan dari negara atas pengabdian seorang Pegawai Negeri Sipil dalam periode tertentu. Tahun lalu, almarhum juga mendapat penghargaan sebagai salah satu Juru Sita terbaik di lingkungan Kanwil DJP Sumatera Utara II. Catatan prestasi yang kelak akan jadi kebanggaan sang anak yang kini tengah dikandung istri Parada. Ayahnya adalah pegawai negara yang berprestasi, berani, dan pergi dengan balutan merah putih diatas peti mati.
“Kalau mati, dengan berani, kalau hidup, dengan berani.", nukilan tulisan Pramoedya Ananta Toer yang melukiskan kisah hidup Parada, bahwa kematian adalah sebuah kepastian, dan tak ada yang tahu bagaimana dan seperti apa hembusan terakhir nafas kita. Mengakrabi kematian dengan memperjuangkan kehidupan adalah pesan penting yang ditinggalkan Parada kepada kita semua.
Yang pertama dan terakhir
JSPN dilantik lewat prosesi pengambilan sumpah dibawah kita suci, sebuah prosesi sakral yang menegaskan mulianya tugas Parada. Tidak seharusnya representasi negara meregang nyawa diujung belati dan hantaman batu dalam pelaksanaan tugasnya. Preseden yang teramat buruk bagi penegakan hukum di republik ini.
Apa yang terjadi pada Parada, harus menjadi yang pertama sekaligus terakhir, seperti pesan keluarga besar beliau, petugas pajak harus diberikan jaminan keamanan dalam pelaksanaan tugas. Risiko kekerasan yang jamak dialami petugas pajak dalam pelaksaan tugas harus menjadi perhatian. Kebutuhan akan payung hukum perlindungan petugas pajak menjadi sesuatu yang mendesak. Inpres tentang Perlindungan Hukum Bagi Pegawai Pajak amat sangat ditunggu, kejadian yang dialami Parada menjadi momentum yang tepat untuk diterbitkannya aturan tersebut. Negara tidak boleh kalah oleh intimidasi dan aksi-aksi kekerasan.
Mengumpulkan sen demi sen rupiah demi pembiayaan pembangunan negara bukanlah tugas yang mudah. Pendeknya, menjadi petugas pajak tidaklah mudah. Bisa dibilang normatif, cengeng, tapi itulah faktanya. Stigma, intimidasi, hingga kriminalisasi bukanlah barang baru bagi petugas pajak. Tapi, tugas adalah tugas, negara harus tetap berjalan, berdiri, dan mandiri. Pajak menjadi tumpuan pembiayaan negara, dan petugas pajak ada di baris terdepan mengumpulkan sen demi sen uang pajak tersebut.
Kepergian Parada adalah duka bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJP kehilangan pegawai terbaiknya yang gugur saat bertugas. Pahlawan yang pergi dengan niat mulia, menunaikan tugas, mengabdikan diri, dan mewakafkan hidupnya demi negara. Ini harus jadi yang terakhir, pelajaran yang amat berharga agar kedepan tidak kembali terjadi kisah serupa.