Sejuknya embun masih terasa, kabut tipis menyelimuti jalanan setapak, rerumputan dan dedaunan tampak berkilauan dihiasi butiran embun yang melekat. Suara gemericik air dari sungai kecil di dekat ladang mengalun pelan, melengkapi suasana yang hening dan tenang. Dari kejauhan, terdengar suara burung berkicau, seolah membangunkan matahari dari tidurnya.Â
Setiap kali aku terbangun, aku selalu menatap keluarga kecilku yang hangat, yang kini hanya ada aku dan ibu. Ibu yang sibuk dengan bahan makanan dan menyiapkan sarapan di dapur, membuat ku merasakan kasih sayang yang mendalam. Keluarga ku bukan lah keluarga yang memiliki anggota keluarga yang lengkap seperti teman teman ku, tapi mempunyai keluarga yang sayang kepadaku adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Â
   Berjalan perlahan melewati jalan setapak yang aku lalui setiap hari. Mengawali hari dengan semangat yang baru untuk meraih mimpi. Di sepanjang jalan yang terasa sunyi, aku merenungkan harapan-harapan yang ingin kuwujudkan di masa depan nanti. Alex merupakan seorang putra dari ibu santi, yang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas, yang duduk di bangku kelas 12 yang penuh memberikan pelajaran berharga.Â
   Sesampai nya di sekolah, semangat Alex sangat terasa bergejolak. Matahari bersinar cerah, dan udara segar menyambutnya saat ia melangkah masuk ke halaman sekolah. Alex merasa penuh energi, karena hari ini adalah hari yang sudah dinantikannya yaitu belajar matematika. Matematika selalu menjadi pelajaran yang paling disukainya, dan ia merasa antusias setiap kali waktunya tiba.Â
Pena yang ia bawa dari rumah menghiasi lembaran yang penuh dengan angka. Bel istirahat pun berbunyi keras membuat suasana kelas menjadi ramai. alex pun mencari ketenangan di taman luar kelas sembari memikirkan olimpiade matematika yang ditawarkan oleh guru di depan kelas tadi. Alex ingin menantang dirinya dengan mengikuti lomba olimpiade matematika. Namun, biaya untuk mengikuti lomba tersebut cukup mahal, padahal alex sangat ingin sekali mengikuti lomba.Â
   Matahari sore memancarkan cahaya jingga saat sekolah usai. Alex berjalan perlahan menuju rumah, ditemani bayangan pohon-pohon yang memanjang di sepanjang jalan. Langkah demi langkah, Alex terus memikirkan tentang lomba olimpiade matematika yang ingin diikutinya. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ibunya akan mengizinkannya, mengingat biaya yang cukup mahal.Â
Sesampainya di rumah, ia melihat ibunya sedang duduk di teras, tampak lelah namun tetap tersenyum menyambut kedatangannya. Dengan rasa yang cukup takut dan berani Alex pun bersiap untuk mengutarakan keinginannya. Alex duduk di samping ibunya, menggenggam erat tali tasnya. Ia menatap ke arah tanah, berusaha mengumpulkan keberanian. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya membuka suara, "Bu, aku... ingin ikut lomba olimpiade matematika."
Ibunya mengerutkan kening sejenak, lalu tersenyum lembut. "Wah, itu luar biasa, Nak! Ibu senang kamu punya semangat untuk belajar lebih."
"Tapi, Bu... biayanya lumayan mahal," lanjut Alex dengan suara lirih, takut kalau permintaannya akan membebani ibunya.
Sang ibu terdiam sejenak, memandang jauh ke depan sambil merenung. "Ibu tahu, Nak. Tapi kalau itu yang membuat kamu bahagia dan bisa belajar lebih, ibu akan coba carikan cara. Kamu sudah bekerja keras, dan ibu bangga denganmu."
   Alex tersenyum lega, rasa hangat menyelimuti hatinya. Ia tak menyangka ibunya begitu mendukung impiannya. Meski belum pasti, setidaknya ia tahu bahwa ibunya akan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk membantunya.
   Selama beberapa hari setelah percakapan itu, ibu alex mulai berjualan sayuran di pasar tradisional. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah bersiap dengan keranjang berisi berbagai macam sayuran segar seperti bayam, kangkung, wortel, dan kol yang ia beli dari petani lokal. Meskipun lelah dan kadang hujan mengguyur jalanan, ibu Alex tak pernah mengeluh. Ia tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk mengumpulkan uang bagi biaya lomba matematika anaknya.
   Alex melihat semua itu dengan rasa haru. Setiap pagi, ia membantu ibunya menyiapkan sayuran yang ia kemas dan di masukan ke keranjang sayuran, lalu ia mengantarnya ke pasar. Sepulang sekolah, ia juga sering ikut menjaga dagangan, meskipun harus melewatkan waktu bermain bersama teman-temannya. Namun, ia tidak keberatan dengan hal seperti itu, karena tujuan nya agar bisa merih mimpi nya. Setiap kali ia melihat senyum ibu yang lelah namun bangga, hatinya semakin berani untuk meraih impian.
   Suatu sore, setelah berjualan seharian, ibu Alex akhirnya mengumpulkan cukup uang untuk membayar biaya pendaftaran lomba. Ia duduk di teras rumah, menghitung hasil jualannya dengan tangan yang sedikit gemetar. Alex duduk di sampingnya, memandang ibunya dengan penuh rasa terima kasih.Â
"Nak, ini uangnya. Kamu bisa mendaftar lomba olimpiade itu," kata ibunya dengan nada yang lembut.
Mata Alex berbinar-binar, tak mampu menahan rasa haru. Ia memeluk ibunya erat. "Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah berusaha keras untukku."
Ibu Alex mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tidak perlu terima kasih, Nak. Apa yang ibu lakukan untukmu, itu karena ibu percaya kamu bisa sukses. Ibu yakin kamu akan membuat bangga."
Alex merasa semangatnya semakin berkobar. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan yang terbaik di lomba tersebut, tak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibunya yang telah berkorban banyak kepada Alex.Â
   Hari yang dinanti akhirnya tiba. Dengan doa dan harapan ibunya yang terus menyertainya dalam setiap langkah, Alex berangkat ke pusat perlombaan olimpiade matematika di kota surabaya. Ia berusaha sekuat tenaga, mengerjakan soal demi soal dengan ketelitian dan ketenangan. Meskipun sempat ragu, ia terus mengingat perjuangan ibunya, yang memberinya semangat untuk menyelesaikan setiap soal.
   Setelah beberapa jam berlalu, tiba saatnya pengumuman pemenang. Alex duduk di antara peserta lainnya, jantungnya berdebar-debar. Ketika nama-nama pemenang disebutkan, ia mendengarkan dengan saksama, Hingga akhirnya, suara pembawa acara menggema di ruangan, "Juara 1... diraih oleh Alex!"
   Alex terdiam sesaat, seakan tak percaya. Tepuk tangan menghiasi ruangan yang berada sekelilingnya, dan ia berjalan maju ke podium dengan mata berkaca-kaca. Penghargaan diserahkan padanya, termasuk uang pembinaan sebagai hadiah. Ia menatap piala di tangannya dengan penuh kebanggaan, mengingat segala usaha dan perjuangan yang telah ia dan ibunya lakukan.
   Sesampainya di rumah, Alex disambut ibunya yang sudah menunggunya di depan pintu. Tanpa berkata-kata, ia memeluk ibunya dengan erat, ia menunjukkan piala dan hadiah uang yang ia bawa pulang. "Bu, ini semua untuk Ibu. Terima kasih sudah berjuang bersamaku."
Ibunya tersenyum penuh haru, matanya berkaca-kaca. "Ini bukan hanya untuk ibu, Nak. Ini hasil kerja kerasmu juga. Ibu bangga sekali padamu."
  Hari itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Alex dan ibunya. Bagi mereka, kemenangan bukan hanya tentang piala atau hadiah uang, tetapi tentang ketulusan hati yang saling mendukung, perjuangan yang tak mengenal lelah, dan cinta yang menjadikan setiap pengorbanan yang begitu berarti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H