Mohon tunggu...
raepileno panggahwigotro
raepileno panggahwigotro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di UPN Veteran Yogyakarta

Saya adalah seorang mahasiswa semester 5 dan tertarik pada issue sosial dan politik luar negeri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Myanmar Terus Bergejolak, Bagaimana Respon Indonesia?

6 Desember 2023   11:11 Diperbarui: 6 Desember 2023   13:57 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pembentukan ASEAN pada tahun 1967, Indonesia telah aktif dalam memainkan peran penting dalam menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Komitmen Indonesia terhadap perdamaian di kawasan tersebut tercermin dalam berbagai inisiatif dan peran yang dijalankan. Beberapa contoh peran Indonesia dalam menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara antara lain melalui partisipasi dalam ASEAN, seperti pemrakarsa Jakarta Informal Meeting (JIM) dan penunjukan sebagai pihak penengah dalam konflik di kawasan. Selain itu, Indonesia juga aktif dalam memastikan ASEAN tetap bersatu, kohesif, dan memiliki ketahanan dalam memajukan perdamaian di kawasan dan pada awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo tahun 2014, Indonesia telah menunjukkan keinginan untuk memiliki peran sebagai kekuatan regional. Target menjadikan Indonesia sebagai Regional Great Power dalam dokumen Visi Indonesia 2045. Sasaran dan strategi pembangunan politik luar negeri Indonesia bermuara pada upaya untuk mewujudkan cita-cita menjadi salah satu negara yang paling berpengaruh di Asia Pasifik. Presiden RI menegaskan dalam berbagai kesempatan bahwa kontribusi Indonesia dalam konstelasi politik dunia harus ditekankan pada upaya penetapan norma dan pembuatan norma, termasuk dalam rangka memastikan kepemimpinan yang efektif di ASEAN dan mampu menjadi jembatan menuju perdamaian antar negara yang berkonflik di kawasan Asia Tenggara.

Pada hari senin, 1 Februari 2021, Myanmar kembali mengalami kudeta untuk kesekian terakhir. Kudeta ini terjadi akibat klaim dari militer yang menganggap adanya kondisi dalam pemilu yang berlangsung pada November 2020. Meskipun komisi pemilu menyebut tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut, militer Myanmar dalam kudeta ini tetap mempertahankan pendapatnya dan mempertahankan beberapa tokoh senior, seperti Presiden Myanmar Win Myint dan Aung Suu Kyi. 

Kudeta berlanjut, dengan pengambilalihan kekuasaan di Myanmar yang dipimpin oleh panglima tertinggi Min Aung Hlaing. Pengambilalihan ini terjadi karena militer Myanmar menganggap bahwa pemerintah gagal memenuhi kondisi pemilu. Militer Myanmar juga menganggap pemerintah gagal menunda pemilihan karena pandemi virus corona. 

Tindakan ini kemudian dilakukan oleh militer Myanmar karena sesuai hukum dan konstitusi yang berlaku, pengambilalihan dapat dilakukan pada saat-saat darurat. Protes besar besaran terjadi setiap harinya untuk menentang kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar. Selain protes besar-besaran, aksi mogok massal juga dilakukan oleh ratusan buruh yang bekerja di pabrik pembuat suku cadang kendaraan militer Myanmar untuk menentang kudeta.  Tak sedikit korban yang berjatuhan akibat kekerasan yang dilakukan pasukan Militer dalam kudeta Militer yang terjadi di Myanmar, dimulai dari kekejaman pasukan militer Myanmar yang telah membunuh para demonstran yang memprotes kudeta, sampai tersingkirnya jurnalis yang memberitakan kekerasan dalam kudeta militer.

Melihat hal  tersebut, Indonesia dan Thailand  bertemu dengan Menteri Luar Negeri junta Myanmar U Wunna Maung Lwin di Bandara Don Mueang, Thailand, Februari 2021. Bersama Thai Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyampaikan sikap terhadap permasalahan yang sedang terjadi di Myanmar dan berharap pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing dapat menahan diri dan tidak melakukan kekerasan terhadap warga sipil.

Namun permintaan akses terhadap tahanan politik tidak dikabulkan, meski kepemimpinan ASEAN telah berganti, dari Brunei Darussalam, Kamboja, dan saat ini Indonesia. Sikap keras kepala pemimpin junta yang enggan menerapkan lima poin konsensus yang disepakati pada pertemuan pemimpin ASEAN di Jakarta pada April 2021 membuat sejumlah negara frustasi.

Lalu ketika Indonesia mengambil alih kepemimpinan ASEAN pada akhir tahun 2022, setelah dijabat oleh Kamboja dan Brunei Darussalam, optimisme terhadap penyelesaian konflik di Myanmar sangat tinggi. Pandangan terhadap status Indonesia sebagai pemimpin adat di Asia Tenggara membuat harapan tersebut cukup tinggi. Pengalaman diplomasi Indonesia dalam menangani berbagai konflik dianggap sebagai modal dasar untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Harapan muncul ketika Jakarta memprakarsai KTT Khusus ASEAN, yang menghasilkan lima poin konsensus di antara para pemimpin ASEAN pada April 2021. Lima poin tersebut terdiri dari penghentian kekerasan, dialog antar semua pihak, pembentukan utusan khusus ASEAN, bantuan kemanusiaan, dan  kunjungan utusan khusus untuk bertemu dengan seluruh pihak di Myanmar. Namun, implementasi konsensus lima poin terhenti. Junta tetap bergeming. Min Aung Hlaing telah memutuskan untuk tidak memberikan akses kepada ASEAN untuk bertemu dengan para pemimpin politik sipil Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi.

Presiden Joko Widodo bahkan sempat menyebut akan mengkaji ulang isi konsensus lima poin karena dianggap stagnan. Jelang pertemuan para menlu ASEAN pada 11-14 Juli di Jakarta, Menlu Retno mengungkapkan, kantor utusan khusus di bawah Ketua ASEAN telah melakukan 110 kali pertemuan atau dialog dengan berbagai pihak di Myanmar.

Selain itu, tim khusus telah dibentuk untuk membantu utusan khusus tersebut dan juga telah bertemu dengan kelompok perlawanan etnis dan kelompok masyarakat sipil. I Gede Ngurah Wijaya, pejabat yang bekerja di Kantor Utusan Khusus Ketua ASEAN untuk Myanmar dan Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI Bidang Diplomasi Regional,4 mengatakan ada beberapa hal yang bisa dinilai sebagai kemajuan dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan tersebut. mendorong proses dialog nasional di Myanmar di masa depan. Ia menjelaskan, mereka telah mendatangkan kelompok etnis bersenjata yang telah menandatangani perjanjian damai dengan junta dan kelompok lawan untuk berdialog dalam satu forum. Mereka bahkan membuat pernyataan bersama. 

Artinya kepercayaan mulai muncul di antara mereka, kata Ngurah. Saat ditanya mengenai keputusan junta yang menunda penyelenggaraan pemilu yang semula dijadwalkan pada Agustus 2023 dan memperpanjang masa darurat militer, Ngurah menyatakan hal tersebut tidak bisa diartikan sebagai niat baik junta untuk berdialog dengan ASEAN. Menurutnya, junta sejak awal tidak pernah membahas persoalan penyelenggaraan pemilu. "Mereka sedang mempersiapkan dan memverifikasi partai politik. Namun, mereka tidak pernah bersuara soal pemilu.5 Sikap ASEAN sangat jelas, sebelum pemilu berlangsung harus ada dialog yang inklusif. Bukan pemilu dulu lalu dialog," kata Ngurah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun