Sebenarnya, monolog yang dibawakan oleh Dira Sugandi sudah memenuhi fungsinya, terutama dalam memberikan kejelasan watak, kondisi psikologis dan sosial, serta perasaan tokoh sepanjang cerita.
Tetapi, sayang sekali ada secuil bagian yang kurang tepat ketika tokoh Emiria menggambarkan suasana Kota Jakarta pada tahun 1940-an. Dalam monolog, disebutkan kalau suasana Kota Jakarta saat itu diisi oleh gedung-gedung tinggi dan suara klakson mobil. Pada kenyataannya, suasana jalanan di Kota Jakarta pada periode tersebut cukup lengang. Adapun keramaian hanya disebabkan oleh suara trem uap, becak, dan delman.
Saya sendiri pun tidak dapat menerka apakah bagian tersebut dibuat oleh penulis naskah atau improvisasi yang dilakukan oleh Dira Sugandi.
Ada pula pada dialog di menit 29.15, yakni, "di Jakarta, kau bisa merasa tenang dan hatimu baik-baik saja, namun kadang hatimu ciut juga. Asing oleh gedung-gedung yang tinggi, orang-orang yang angkuh dan ingin saling mendahului" yang menurut saya lebih pas menggambarkan Kota Jakarta masa kini.
Tetapi, secara keseluruhan, teater "Yang Tertinggal di Jakarta" adalah salah satu teater monolog terbaik yang pernah saya tonton. Meski ada beberapa hal yang mengurangi kelogisan cerita, namun teater ini berhasil mengangkat kisah tokoh Emiria Soenassa yang mungkin sudah jarang diketahui oleh orang awam.
Monolog yang dikemas dengan baik, akting pemain yang cantik, set yang sempurna.
Well done, Teater Titimangsa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H