(diakhir telepon, Piyu Napitu, paman itu masih bertanya apalah arti Mogawe itu?)
Awal tahun 2017, saya memutuskan meninggalkan perusahaan lama dan bergabung dengan MoGawe, dipikiranku saat itu adalah Crowd Management itu sesuatu yang sangat menantang, bagaiaman tidak menantang. Crowd itu bebas tanpa ikatan, tak ada kontrak, tak ada pulu benefit seperti yang didapatkan oleh pekerja/buruh, kalau disederhanakan tenaga kerja bebas tanpa hambatan.Â
Kalau ditilik dari sudut pandang undang-undang ketenaga-kerjaan, hubungan kerja sipemberi dengan sipenerima hanya ada dua, Pekerja Kontrak Waktu Tertentu dan Pekerja Kontrak Tanpa Waktu Tertentu (tetap), sebagai mana dijelaskan pada UU No. 13 Tahun 2003 Â Urun Daya ini bukanlah sebagai Pekerja/Buruh. Lalu kalau dalam undang-undang ketenaga kerjaan sudah dijelaskan, pemahaman para Urun Daya masih saja mendefensikan bahwa Crowd Source itu mirip-mirip dengan Out Source.Â
Terlepas dari persepsi orang tentan Urun Daya tersebut, bagi saya waktu itu, mengelola Crowd Source pastilah sangat menantang, karena ini sebuah disrupsi dalam ketenagakerjaan.Â
Pendekatannya pun mesti berbeda, pemberdayaannya pun demikian, komunikasinya, model pengupahannya, sistem pembayarannya, dan banyak hal harus dirubah, baik sipemberi kerja maupun si Urun Daya. Yang sangat menantang, mengetahui komitment mereka tanpa ada surat kontrak, jadi tak ada tekanan apalagi hukuman, masing-masing pihak, Urun Daya dan Perusahaan sama-sama mengenal konsekuensi.Â
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H