"Perilaku konsumen dipengaruhi afeksi dan kognisi konsumen terhadapa suatu produk dimana dua faktor tersebut juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan serta stimulus yang diberikan oleh pemasar produk..." (Raf'al, 2017: 51).Â
Jadi, dalam budaya konsumen ini merupakan perilaku konsumen dengan keinginan, kebutuhan bahkan menjadi keharusan untuk membeli suatu produk yang mana hal tersebut dipicu oleh kondisi lingkungan masyarakat itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern masa kini merupakan masyarakat yang cukup konsumtif dalam kehidupan sehari-harinya.Â
Namun ternyata, banyak dari sebagian masyarakat yang tidak sadar bahwa sikap konsumtif yang mereka lakukan bukan lagi sebagai pemenuh kebutuhan melainkan sebagai ajang mengikuti tren dan gengsi.Â
Berkembangnya gaya hidup masyarakat sekitar menjadi tanda dari berkembangnya budaya konsumtif di masyarakat.Â
Perilaku masyarakat modern yang tidak pernah mau ketinggalan tren viral yang 'berseliweran' di berbagai platform sosial media seperti pada aplikasi Tiktok, Instagram bahkan Twitter. Seperti hal-nya dalam fenomena 'Racun Tiktok'
'Racun Tiktok' merupakan salah satu konten atau trend yang berkembang selama pandemi Covid-19 berlangsung. Biasanya dalam trend tersebut berisikan konten berupa rekomendasi berbagai jenis produk, dari yang bermanfaat hingga hanya sekedar lucu-lucu saja.Â
Tidak hanya itu, isi konten dalam trend "Racun Tiktok" tersebut juga dapat berupa produk fashion dan skincare yang sedang viral. Dengan mode pakaian ataupun skincare yang viral di berbagai platform tersebutlah yang kemudian membangun rasa ingin membeli para pengguna yang melihatnya.Â
Namun terkadang banyak dari mereka yang tidak cukup biaya atau uang untuk dapat membeli barang-barang yang sedang viral tersebut. Hal tersebut kemudian membuat beberapa dari mereka tidak takut untuk membeli barang atau produk imitasi atau palsu dari suatu brand yang viral tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Raf'al (2017: 50) dalam jurnalnya bahwa kepemilikan barang dengan merek ternama tersebut dapat menimbulkan kebanggaan diri.Â
Dengan  membeli barang dengan merek ternama dapat menimbulkan perasaan "lebih" pada diri mereka.Â
Munculnya produk-produk imitasi atau palsu dan juga pasar yang mengonsumsi produk imitasi tersebut menjadi fenomena yang tanpa disadari menimbulkan kerugian bagi pemiliki nama atau merek aslinya maupun pembeli.
Banyak sekali remaja kalangan pelajar yang memilih untuk mengonsumsi barang palsu atau imitasi tersebut dengan sebab harga yang ditawarkan jauh lebih murah dibandingkan yang asli.Â
Namun, tanpa mereka sadari bahwa dengan membeli barang-barang imitasi tersebut dapat merugikan pihak lain maupun diri mereka sendiri.Â
Adanya barang imitasi tersebut jelas akan ada perbedaan dengan barang aslinya, selain perbedaan harga, terdapat pula perbedaan dalam segi kualitas yang diberikan.Â
Memang tidak selamanya barang dengan harga yang murah memiliki kualitas yang rendah, pun dengan sebaliknya.
Dengan demikian, sudah sebaiknya kita untuk mencoba pengurangi perilaku konsumtif yang berlebihan.Â
Membeli barang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang kita miliki agar mengurangi dampak buruk yang terjadi ketika kita memaksakan diri untuk mengikuti segala trend dan konten-konten viral di sosial media.Â
Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan membuat skala prioritas atas konsumsi yang kita butuhkan dan yang kita inginkan.Â
Kita juga dapat menabung terlebih dahulu ketika kita memiliki suatu keinginan untuk memiliki suatu barang tertentu, dan tidak perlu memaksakan diri untuk memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H