Mohon tunggu...
Radnan Akyara
Radnan Akyara Mohon Tunggu... -

sebuah pseudonim

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hari Ini adalah Hari yang Baik untuk Mati

14 Desember 2009   04:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:57 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga Akhir Zaman

Belum lama ini datang seorang teman yang curhat kepada saya. Dia mengaku sedang bingung memahami aliran ‘kanan’ dan aliran ‘kiri’ sebagai bentuk ideologi. Apa perbedaan mendasar dari kedua pemikiran ini? Siapa-siapa saja aktor intelektual yang terlibat di dalamnya?

Saya hanya diam saja saat teman tadi memberondongkan pertanyaan tersebut. Bukannya bengong atau tidak mendengarkan, saya terdiam karena pertanyaan tersebut membawa ingatan ini kepada salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma. dalam kumpulan cerpen Saksi Mata. Berikut ini adalah nukilannya:

“Perlawanan..” katanya berapi-api, “..Ideologi kami adalah perlawanan. Kami tidak peduli kalah dan menang, kami hanya melawan dan melawan.”

“Ya, Tapi…”

(Klandestin: Kumcer ‘Saksi Mata’ hal.98)

Dari nukilan fiksi diatas bisa dilihat, SGA memadankan kata ‘ideologi’ dengan bentuk ‘perlawanan’ yang tanpa syarat. Perlawanan yang menjalankan tugasnya dengan –tak bisa lain– hanya melawan. Tapi kita pun telah sama tahu, bentuk ‘lawan’ disini selalu membutuhkan ‘musuh’ sebagai oposisi binernya. Seperti hitam dengan putih. Langit dengan bumi. Yang mungkin dan yang mustahil. Awal dan akhir. Seperti juga ideologi kanan yang berseberangan dengan ideologi kiri.

Kemudian SGA mengungkapkan ketidakpeduliannya akan hasil akhir dari perlawanan itu, menang atau kalah tidak lagi menjadi soal. Sebab yang terpenting disini adalah bagaimana ‘perlawanan’ (baca: ideologi) itu bisa berperan. Maka dengan mengingat kekhawatiran saya sebelumnya di esai ini, bolehlah saya berkesimpulan bahwa sejatinya, dikotomi adalah sebuah ruang simulakrum yang tidak bisa sembarangan saja digunakan.

Dan karena tak ingin sembarangan saja menjawab, saya memilih untuk beranjak pergi dan meninggalkan teman tadi yang masih terombang-ambing ke kanan ke kiri. Sambil menyulut sebatang kretek, saya hendak mencari posisi nyaman di depan teras yang menghadap ke alam. Saya mencoba menangkap sebentuk garis cakrawala, sebuah garis horizontal yang memisahkan langit dengan bumi. Konyol memang, karena garis itu tak pernah benar-benar ada. Manusia hanya menamainya karena langit dan bumi mesti dipisahkan. Padahal langit, bumi, dan garis cakrawala berasal dari satu bulatan yang sama. Seperti halnya hitam, putih, dan abu-abu dalam keluarga warna.

Untuk menciptakan iklim dunia yang lebih bermanusiawi, tampaknya kita tak perlu mempertajam perbedaan dengan pisau murahan. Sebab yang terpenting disini adalah bagaimana masing-masing kita bisa berperan. Bahkan kalau perlu, kita tak usah lagi mengingat masa lalu atau mengharapkan masa depan. Yang menurut saya mesti kita lakukan adalah menjalani kehidupan mulai sekarang, dan semakin menyadari bahwa hidup adalah masa kini yang terus diulang.

Dan tahukah kamu, kawan? Kita tak perlu menunggu sampai jadi sepasang kakek nenek untuk bisa berdampingan. Kita ini memang sudah terjebak dalam KEABADIAN untuk bisa saling melengkapi lewat perannya masing-masing. Tak peduli siapa yang minor dan siapa yang dominan, tak jadi soal apakah kita bersahabat atau berseberangan. Kalaupun suatu saat nanti kita tak lagi berdampingan seperti ini, kamu jangan khawatir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun