Mohon tunggu...
Radja Haehta Sembada
Radja Haehta Sembada Mohon Tunggu... Pengacara - Penikmat keresahan ☕🌿

Kekuasaan tanpa Hukum sewenang wenang, Hukum tanpa Kekuasaan angan-angan ⚖️☕

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dasar Alasan Nakes akan Gugat UU Kesehatan Baru ke MK

13 Juli 2023   23:35 Diperbarui: 14 Juli 2023   00:09 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tenaga kesehatan (SHUTTERSTOCK/MIKHAYLOVSKIY via Kompas.com)

DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-29 DPR pada masa sidang 2022/2023. Saat pengesahan itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga turut hadir. Mayoritas fraksi seperti PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, P3, dan PAN menyetujui RUU tersebut, sementara fraksi Nasdem menerima dengan beberapa catatan, dan PKS serta Partai Demokrat menolak.

Rapat paripurna DPR untuk pengesahan RUU kesehatan ini mendapat protes dari ratusan dokter dan tenaga kesehatan yang menggelar demonstrasi di depan gedung DPR RI. Mereka meminta penundaan pengesahan RUU Kesehatan, dengan poin utama protes terkait pasal tentang tenaga kesehatan asing dan pasal pidana bagi tenaga kesehatan. Ini menjadi salah satu alasan di balik aksi protes mereka terhadap undang-undang kesehatan yang baru ini.

Bahwa RUU kesehatan ini tidak memperhatikan aspirasi organisasi profesi dan masih banyak pasal yang justru merugikan tenaga kesehatan. Pihak yang meminta penundaan pengesahan RUU kesehatan menilai pengesahan aturan ini terkesan terburu-buru, mengingat RUU kesehatan baru ini masuk ke dalam prolegnas DPR pada Februari 2023, yang artinya pembahasannya tak lebih dari 5 bulan.

Hal lain yang menjadi keberatan adalah penghapusan alokasi anggaran kesehatan pemerintah pusat atau yang sebelumnya dikenal sebagai mandatory spending. Sebelumnya, berdasarkan pasal 171 undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, negara harus menyediakan anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD. Namun, panitia kerja RUU kesehatan memutuskan untuk menghapus ketentuan tersebut dalam RUU Kesehatan. 

RUU kesehatan baru juga menyatakan bahwa setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan diizinkan untuk membentuk satu organisasi profesi. Sebelumnya, berdasarkan undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan satu-satunya wadah tunggal bagi profesi dokter di Indonesia. 

Sementara untuk dokter gigi, organisasi profesi yang diakui adalah Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ke depannya bukan hanya IDI dan PDGI yang akan diakui sebagai organisasi profesi dalam RUU Kesehatan, IDI sendiri menolak ketentuan baru ini karena khawatir akan adanya standar ganda dalam penegakan etika profesi kedokteran yang kemudian dapat menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya. 

RUU kesehatan juga menetapkan bahwa hasil tembakau dianggap setara dengan narkotika dan zat adiktif lainnya. Menurut RUU kesehatan, zat adiktif ini mencakup semua bahan atau produk yang bersifat adiktif dan penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi individu dan masyarakat. Pihak yang menentang menganggap bahwa ketentuan baru ini telah melanggar perundang-undangan yang berlaku, mengingat tembakau merupakan komoditas strategis dalam undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan.

Di dalam undang-undang kesehatan baru ini juga diatur kemudahan bagi tenaga kesehatan asing untuk membuka praktik di Indonesia. Hal ini membuat para tenaga kesehatan khawatir bahwa aturan ini akan merampas peluang tenaga kesehatan lokal. 

Selain itu, juga terdapat keberatan terhadap pasal yang menyatakan bahwa setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien mengalami luka berat akan dipidana dengan pidana penjara maksimal 3 tahun. Jika kelalaian berat tersebut mengakibatkan kematian, tenaga kesehatan dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun. Para tenaga kesehatan menilai aturan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap profesi mereka.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para tenaga kesehatan berencana untuk mengajukan gugatan terhadap undang-undang kesehatan baru ini ke Mahkamah Konstitusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun