Ayat 1 menjelaskan hak Menteri untuk menolak memberikan perlindungan namun disayangkan tidak dijelaskan secara jelas/trasnparan apa-apa saja yang menjadikan perlindungan hukum itu ditolak.
Ini adalah celah hukum yang tetap memposisikan orang yang memperjuangan LH pada posisi “teracam”. Salah satu alasan yang menyebabkan penolakan adalah validitas perjuangan, padahal validitas ini multi tafsir dan sarat dengan kepentingan. Ambil contoh sederhana, fenomena kucing liar yang menjadi feral tapi “dipelihara” oleh masyarakat. K
alau kucing liar itu di”kontrol” karena telah menyebabkan hilangnya satwa lokal seperti kadal, cleret gombel, buglon, burung, bahkan belalang, apakah pejuang satwa liar lokal akan dilindungi oleh Menteri? Banyak orang yang tidak setuju dengan “pengontrolan” kucing liar dengan berbagai alasan, pertimbangan, dan dalil sehingga berujung kepada invaliditas perjuangan perlindungan satwa lokal dari pemangsaan oleh kucing liar ini.
Catatan lain tentang Permen ini adalah sejak dilantiknya Kabinet Merah Putih beberapa saat yang lalu oleh Presiden Prabowo yang berakibat dipisahkannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi dua kementerian, semoga “lingkungan hidup” yang dimaksudkan di dalam Permen ini maupun regulasi di atasnya, yang menjadi kaitan Permen ini, tidak meniadakan pemberian perlindungan hukum kepada pejuang LH gara-gara, misalnya, kehutanan tidak lagi menjadi bagian dari lingkungan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H