Mohon tunggu...
Radja Autar Hamdhani Sinaga
Radja Autar Hamdhani Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 3 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Kebebasan: Apakah "Sebebas" Itu?

1 Desember 2024   13:38 Diperbarui: 2 Desember 2024   17:52 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pinterest/hosiojo/Attack on Titan

Kebebasan, merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita pasalnya kata inilah yang melandasi kemerdekaan kita. Kata kebebasan sangat memberikan pengaruh yang besar baik dalam aspek kehidupan kita sehari-hari seperti kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berpolitik, kebebasan berkumpul, kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya hingga akhirnya melahirkan suatu norma ataupun instrumen hukum yang kita kenal yaitu Hak Asasi Manusia (Human Right) atau Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Hingga saat ini, kebebasan terus mengalami perkembangan mengikuti zaman bahkan hingga kebebasan itu sendiri tidak terkontrol lagi. Lantas benarkah kebebasan yang ada saat ini merupakan kebebasan yang se-hakikinya? Atau jika tidak benar, bagaimanakan konsep aslinya dari kebebasan tersebut?

Sebelum kita mencari jawaban tersebut, menjadi penting bahwasanya kita harus memahami asal mula kebebasan itu dari mana dan awal mula arti dari kebebasan itu seperti apa. Berdasarkan pendekatan secara historical (sejarah) melalui beberapa literatur diketahui bahwasanya awal mula kebebasan itu dikemukakan pada zaman Yunani Kuno oleh seorang filsuf yang bernama Aristoteles. Kebebasan pada saat itu menurut Aristoteles ialah untuk menjadi individu yang bebas dengan hidup sesuka hatinya tanpa adanya dikuasai oleh orang lain ataupun mandiri dari penguasa, dan mereka yang tidak hidup secara normal sebagai manusia merupakan tanda seorang budak.[1] Pada zaman itu diketahui bahwasanya kebebasan dimaknai sebagai bebas untuk menentukan hidupnya agar tidak diperbudak atau dikuasai oleh penguasa dan hidup sebagai manusia pada umumnya. Menurutnya (Aristoteles), kebebasan juga menjadi karaktersitik dari demokrasi.

Seiring dengan berkembangnya zaman, pandangan mengenai kebebasan dan juga pendapat para filsuf yang menjelaskan tentang kebebasan juga semakin berkembang. Pandangan mengenai kebebasan terbagi menjadi tiga yaitu determinisme, indeterminisme, dan kompatibilisme. Determinisme merupakan pandangan yang meyakini bahwasanya kebebasan itu ialah ilusi belaka saja, yang dikarenakan penganggapan manusia yang sejatinya telah diatur oleh hukum alam karena manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga tindakan manusia telah ditentukan sedari awal. Indeterminisme merupakan pandangan yang meyakini bahwasanya kebebasan itu ialah hal yang nyata dikarenakan manusia yang dianggap sebagai makhluk yang bebas dan memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan yang berbeda-beda sehingga pandangan ini menyatakan bahwa manusia dapat mengambil keputusan yang tidak bergantung pada hukum alam dan/atau faktor lainnya. Lalu pandangan terakhir yaitu kompatibilisme yang juga meyakini bahwa kebebasan itu merupakan hal yang nyata, namun dalam pandangan ini terdapat pengecualian yaitu kebebasan tetap dibatasi oleh hukum alam dan/atau faktor lainnya atau dapat dikatakan meskipun manusia dapat mengambil tindakan yang berbeda-beda namun sejatinya mereka tetap terikat oleh keterbatasan lingkungan atau hukum alam dan juga faktor-faktor lainnya.[2]

Sejalan dengan pandangan kompatibilisme, John Stuart Mill yaitu salah satu pakar filsuf yang terkenal akan pendapatnya tentang kebebasan dalam bukunya yaitu On Liberty yang mengatakan bahwa setiap individu mempunyai hak alami untuk berpikir, berbicara, dan melakukan tindakannya sesuai dengan kemauannya selama tindakan tersebut tidak merugikan orang lain atau dapat dikenal dengan teori harm principle.[3] Menurutnya, kebebasan itu bukanlah tindakan bebas tanpa kontrol/tanpa pembatas, namun kebebasan ialah sebuah tindakan yang diarahkan menuju sikap positif (kebebasan positif) yang tidak mengganggu dan merugikan orang lain namun malah menguntungkan kedua pihak tersebut.[4] Immanuel Kant dalam bukunya yaitu Groundwork of the Metaphysic of Morals (Landasan Metafisika Moral) mengemukakan bahwa kebebasan itu menyangkut dengan moral dan juga kebebasan itu dapat diartikan sebagai otonomi kehendak. Menurutnya, jika kita telah mengetahui persoalan mengenai moralitas maka kita akan menemukan argumentasi terkait dengan kebebasan.[5] Maka dari ini kita mengetahui bahwa kebebasan yang dikemukakan oleh Immanuel Kant ialah kebebasan yang dibatasi prinsip-prinsip moral universal yaitu tindakan bebas suatu individu harus dapat diterima dengan secara rasional dan sesuai dengan aturan umum yang diakui oleh manusia.

Maka dari itu sejatinya konsep kebebasan yang paling ideal sekaligus realistis dalam kehidupan ini menurut penulis yaitu kebebasan kompatibilisme yaitu kebebasan namun tidak melupakan batasannya seperti hukum alam, norma-norma yang berlaku, dan juga tanggung jawab bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tersebut. Namun seiring dengan perkembangan zaman hingga modern saat ini kita banyak dipertontonkan dengan kebebasan yang sudah tidak terkontrol lagi bahkan sudah diluar nilai-nilai moral, etika, dan norma yang kita anut. Arah kebebasan ini dikenal dengan kebebasan libertarianisme yang dimana kebebasan ini merupakan cabang dari liberalisme yang lebih radikal dan fanatik yang menjunjung tinggi kebebasan yang hampir mutlak dimana mereka beranggapan bahwa kebebasan tidak dapat dibatasi oleh norma-norma ataupun hal lainnya karena itu sama saja dengan pelanggaran kebebasan suatu individu menurut mereka.

Arah kebebasan ini sudah terlihat kekacauannya saat ini yang dimana banyak bentuk penyimpangan terjadi yang diantaranya penyuka sesama jenis, tindakan ingin diakui atau memperoleh pengakuan/atensi suatu individu ataupun kelompok dengan cara yang radikal dan merugikan, hingga pengabaian terhadap nilai-nilai norma, moral, dan etika dianggap sudah lazim demi menggapai kebebasan yang hakiki. Padahal sejatinya yang menjaga manusia itu tetap beradab dan membedakannya dengan makhluk hidup lainnya yaitu pemikirannya beserta norma, moral, etika yang dianut. Mengutip perkataan yang populer pada satu film yaitu John Wick (Seri 1-4) yang menurut penulis sangat relevan dengan opini ini yang diucapkan oleh salah satu tokof fiktif yaitu Winston Scott yang pada dialognya "Rules. Without them we live with animals" yang berarti "aturan, tanpanya kita hidup dengan hewan" yang dimana pada saat karakter utama yaitu John Wick melanggar dialog ini, kita diperlihatkan tindakan seorang manusia yang akan melakukan segalanya demi mencapai keinginan sejatinya.

Namun demikian konsep kebebasan hingga saat ini masih menjadi topik yang diperdebatkan baik dari pakar filsuf maupun sesama manusianya. Menurut anda apakah kebebasan itu? Apakah kebebasan itu murni bebas dari segala hal atau justru terikat pada suatu hal? Namun jika kebebasan itu terikat lantas apa pengertian sejatinya dari bebas tersebut? Atau malah kebebasan itu hanyalah ilusi belaka seperti anggapan penganut pandangan determinisme?

                                                                                                                         

Refrensi

[1] Wikipedia, "Kebebasan" https://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan#Sejarah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun