"Heheh, insyaa Allah. Kita berdoa saja untuk masa depan itu. Ingat, Allah yang mengatur semuanya. Yah hanya dengan berdoa saja yang terbaik. Kita hambanya kok,” balasnya santai namun pasti.
Yah malam itu sebuah janji mulia terikrarkan. Memilih untuk berpisah dan bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat; nasuha. Berjanji untuk menggapai impian mereka bersama, lalu menuju ke jenjang hubungan yang diridhoi Allah.
Dua jam sebelumnya...
Pukul lima lewat tiga puluh menit. Awan terlihat pucat. Angin menggebu-gebu. Pepohonan mengeluarkan bunyi akibat gesekan angin. Dua pasangan duduk bersampingan terlihat asyik mengobrol. Di sekitarnya banyak pula orang yang sedang berduaan dengan kekasihnya. Asyik betul mereka ini. Sepertinya Syaitan girang tak ketulungan melihat pemandangan ini.
Di suatu tempat terlihat pula dua pasangan yang bukan muhrim dukuk berdekatan. Sangat dekat malah; bersentuhan sudah. Tertawa lepas bak menonton komedian ternama. Saling suap-menyuap cemilan yang baru mereka beli. Namun, seketika laki-laki berambut cepak itu menunduk. Pacarnya sontak terheran.
"Ada apa, kak?”
“Cemy... kaka ingin ngomong sesuatu.” Ia menatap dalam kekasihnya itu. “Semalam selepas kakak membaca surahYaasiin, tiba-tiba terbesit di pikiran kakak bahwa apa yang kita lakukan selama ini itu sia-sia. Malah menambah murka Allah.” Ia tertunduk lagi.
Mimik keheranan memenuhi wajah gadis lugu di sampingnya itu. Kenapa ia harus mendengar ucapan itu? Baru saja mereka tertawa bersama. Kenapa harus tiba-tiba? Apa itu hanya alasannya semata untuk memutuskannya lalu mencari perempuan lain?
Angin semakin menderu tak karuan. Pohon-pohon menari karena terpaksa. Satu dua kilat sudah menunjukkan kehebatannya. Guntur pun tak mau kalah.
“Maaf kakak berbicara seperti itu. Kaka selalu teringat akan dosa, Dek!” laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya.
Yang diajak berbicara masih terdiam. Mungkin masih belum bisa mencerna kejadian tak terduga itu.