Ambisi sebagian orang Islam untuk mengislamkan negara Indonesia sudah berkali-kali gagal. Dalam rangkaian persidangan menuju proklamasi kemerdekaan, sistem negara Islam ditolak (bisa disimak lebih lanjut di sini). Pemberontakan Darul Islam yang dikobarkan di berbagai daerah akhirnya terpadamkan. Dalam Pemilu 1955, pendukung politik Islam gagal mencapai mayoritas. Dalam pergolakan politik 1965, kaum Islam politik gagal menguasai pemerintahan. Lalu pasca-Orde Baru, lagi-lagi partai-partai Islam kalah dalam usaha menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
--------
Masalahnya, mereka tak mau menerima kenyataan bahwa yang menghendaki berlakunya syariat hanya sebagian kecil. Mereka kemudian mengambil jalan gerilya, agar tak perlu berhadapan dengan sistem one-person-one-vote di mana mereka selalu kalah. Perda-perda syariat diterapkan di berbagai daerah, meski menimbulkan korban dan mengancam keutuhan negara.
Mereka mengegolkan UU Sisdiknas, yang memaksa para murid sekolah menerima indoktrinasi keagamaan, padahal hal tersebut bertentangan dengan amanat Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hajar Dewantara (bisa disimak lebih lanjut di sini). Mereka kemudian berusaha memajukan RUU APP. Untungnya, terjadi penolakan meluas, sehingga yang disahkan hanyalah UU Pornografi yang menghilangkan banyak poin dari RUU APP.
Kini, gerilya mereka adalah mengajukan judicial review tentang pasal 284, 285, dan 292 KUHP ke Mahkamah Konstitusi. Mereka ingin agar KUHP direvisi jadi melarang seks pranikah dan homoseksualitas. Mereka mengatasnamakan Pancasila. Padahal sudah jelas hukum pidana tersebut diterapkan oleh para pendiri negara kita yang notabene perumus Pancasila. Para beliau dulu sadar bahwa kedua hal tersebut sifatnya privat, tidak merugikan siapapun, dan tidak melanggar Pancasila, sehingga tidak perlu dilanggar.
Mereka yang mengajukan judicial review rupanya mengira diri mereka lebih paham Pancasila ketimbang orang-orang yang merumuskan Pancasila.
Ini bukan sekadar urusan seks, melainkan usaha suatu golongan untuk mengangkangi negara. Jika tuntutan yang sekarang dikabulkan oleh MK, sudah pasti nanti akan muncul banyak tuntutan lain. Mereka akan meminta poin-poin RUU APP dimasukkan ke dalam UU Pornografi. Standar golongan mereka sendiri akan digunakan untuk mengatur paksa pakaian apa yg dikenakan, buku apa yang dibaca, hingga film apa yang ditonton oleh semua orang. Tujuan akhirnya tentu saja Piagam Jakarta, alias menghukum warga yang tak mau menjalankan syariat.
--------
Kita bisa belajar modus operandi serupa yang diterapkan di negara-negara lain. Contoh yang kasar adalah Revolusi Iran—tergambar dalam komik otobiografi Persepolis karya Marjane Satrapi. Kaum islamis menikam kaum sekuler, yang tadinya sekutu dalam menumbangkan Shah Iran. Penegakan syariat kemudian dijalankan secara berdarah-darah. Contoh brutal lainnya adalah naiknya Taliban ke kekuasaan di Afganistan, yang tadinya disambut baik oleh warga.
Sedangkan modus operandi yang lebih halus pernah dilakukan oleh rejim Mohammad Morsi di Mesir, seusai penumbangan Hosni Mobarak. Untungnya, masyarakat segera bereaksi, dan Morsi pun berhasil disingkirkan (bisa disimak lebih lanjut di sini). Contoh terbaru, yang bahkan lebih halus daripada di Mesir, sedang dijalankan oleh rejim “Sultan” Recep Tayyip Erdogan di Turki (bisa disimak lebih lanjut di sini). Kini, Turki sedang di ambang perpecahan bangsa.
Indonesia jauh lebih berbhinneka daripada Iran, Afganistan, Mesir, dan Turki. Efek dari gerakan islamisasi di Indonesia bakal jauh lebih merusak persatuan ketimbang di negara-negara tersebut. Pertanyaannya, akankah kita biarkan keutuhan bangsa dan negara dipertaruhkan seperti itu? Sepertinya sudah waktunya kita mengambil sikap menghadapi clear and present danger yang satu ini, sebelum terlambat.