Ketika kerajaan Majapahit dihancurkan oleh pengaruh Islam, para penguasa Islam sesudahnya tak pernah berhasil menguasai Nusantara sebagaimana dicapai oleh Majapahit. Kesultanan Demak melancarkan islamisasi yang cukup masif dengan kekuatan politik, menyebabkan sebagian orang Hindu terpaksa menyingkir. Ada yang ke daerah sekitar gunung Bromo, membentuk komunitas Tengger yang masih eksis hingga sekarang. Para seniman Hindu lari ke pulau Bali, mempertahankan kebudayaan adiluhung yang kini jadi tulang punggung pariwisata Indonesia.
Untungnya, Bali tak pernah terkena pengaruh politik Islam dari pulau Jawa. Bahkan, kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu di Bali mencakup wilayah Blambangan di ujung timur Jawa. Sementara di Demak sendiri, ada konflik internal antara Walisongo versus Syekh Siti Jenar. Egoisme keagamaan menyebabkan Siti Jenar dihukum mati, meski pengikutnya masih cukup banyak hingga sekarang.
Zaman berikutnya, ketika Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam berambisi menguasai seluruh pulau Jawa, tantangan terberat yang ia hadapi bukanlah Jan Pieterzoon Coen yang menguasai Batavia, melainkan orang-orang Surabaya yang menolak tunduk kepada Mataram. Surabaya bertahan dari berulang kali serbuan balatentara Sultan Agung, lebih gigih ketimbang VOC dengan senjata canggihnya. Bahkan, Sultan Agung sempat mengajak VOC untuk bekerja sama menaklukkan Surabaya. Akhirnya Surabaya kalah juga, bukan dalam peperangan yang jantan, melainkan karena Sultan Agung meracuni Kali Mas dengan bangkai binatang, semacam senjata biologis pada zaman itu.
Bukan hanya di Jawa, perlawanan terhadap Islam juga terjadi di kerajaan Pagaruyung di Sumatera. Kaum paderi tega mengobarkan peperangan kepada saudara-saudara sebangsanya dalam Perang Paderi bagian pertama, hanya karena mereka menolak kemauan kaum paderi untuk menjalankan ajaran Islam ala Timur Tengah. Akibat peperangan ini, Belanda jadi punya celah untuk menguasai daerah Minang.
--------
Dari sini saja, terlihat bahwa masuknya Islam ke Nusantara bukannya tanpa resistensi. Juga tak bisa disebut berlangsung secara damai. Dan yang terpenting, Indonesia tidaklah identik dengan Islam. Di negeri kita ini, budaya Islam tak lebih mulia ketimbang budaya-budaya Hindu, Buddha, Barat, dan lain-lain yang pernah datang ke sini.
Para tokoh pergerakan kemerdekaan, hingga dr. Soetomo dan organisasi Budi Utomo-nya, hingga duo proklamator Soekarno-Hatta, menyadari hal ini. Para beliau tersebut juga membandingkan ideologi Islam dengan ideologi-ideologi lain, kemudian menyimpulkan bahwa sistem Islam tidaklah cocok bagi bangsa Indonesia yang sangat plural ini.
Separuh masa awal pemerintahan Soekarno layak jadi pedoman bagaimana seharusnya negara Republik Indonesia memperlakukan Islam. Piagam Jakarta dihapuskan. Burung Garuda dari mitologi Hindu dijadikan lambang negara, lengkap dengan Bhinneka Tunggal Ika—yang bermakna pluralisme—sebagai semboyan negara. Tak ada pengistimewaan bagi Islam. Tak ada kolom agama di KTP yang hanya akan mengkotak-kotakkan warga (bisa disimak lebih lanjut di sini). Dan ketika ada gerakan mengubah Indonesia jadi negara Islam, disikapi dengan kekuatan militer.
--------
Jika ada yang bilang Islam ditindas, itu tidak benar. Orang Islam tetap leluasa menjalankan ajaran agama. Tetap boleh sholat, puasa, berhaji, dan lain-lain. Sayangnya, sebagian dari orang Islam tidak puas dengan hak yang fair seperti itu. Mereka ingin agar Islam dijadikan dasar hukum, sehingga kaum Islam abangan—yang secara sadar memilih untuk tidak menjalankan ajaran agama—dipaksa untuk menjalankan ajaran agama. Ketika kaum abangan sudah dijadikan agamis, maka posisi Islam akan diperkuat dalam sistem negara, menempatkan semua penganut agama lain sebagai warga kelas dua.
Kecenderungannya belakangan semakin terlihat lho. Dari yang kecil-kecilan, kebiasaan bulan puasa di mana warung disuruh pasang tirai, diubah jadi disuruh tutup sepanjang siang. Di Jawa, ada gerombolan perusuh berlatar agama yang menghancurkan patung tokoh pewayangan. Di Sumatera, patung Buddha yang didirikan di atas vihara diprotes. Dan tak terhitung lagi gereja yang ditutup meski telah beroperasi cukup lama, juga gereja yang dipersulit izin berdirinya meski memakai uang dan lahan jemaatnya sendiri.