Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pendidikan Indonesia Pasca-Anies Baswedan

28 Juli 2016   07:14 Diperbarui: 28 Juli 2016   07:50 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika nama-nama menteri baru hasil reshuffle kemarin diumumkan, mulanya saya biasa saja. Ignasius Jonan memang layak diganti, terutama karena cenderung berkolusi dengan pengusaha angkutan yang ingin menghentikan perkembangan transportasi berbasis teknologi informatika. Wiranto masuk kabinet (lagi), tebakan saya sebagai persiapan untuk nantinya menggantikan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang suka menentang kebijakan presiden. Wiranto sebagai pendiri partai lebih mudah dipegang ekornya oleh presiden. Sedangkan kembalinya Sri Mulyani merupakan konsekuensi pergerakan ekonomi global yang mulai pulih dari krisis, di mana beliau punya akses internasional untuk memperkuat posisi moneter Indonesia.

Tapi, kejutannya ada pada jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Anies Baswedan digantikan oleh Muhadjir Effendy, salah satu tokoh Muhammadiyah. Ini merupakan langkah mundur, menuju bagi-bagi kekuasaan di mana NU dapat jatah Menteri Agama, sementara Muhammadiyah dapat jatah Menteri Pendidikan. Dulu, Kementerian Pendidikan dipimpin berturut-turut oleh Yahya Muhaimin, Abdul Malik Fajar, dan Bambang Sudibyo, yang ketiganya dari Muhammadiyah. Kemudian, giliran Mohammad Nuh yang dekat dengan kalangan agamis pegang kendali, menghasilkan Kurikulum 2013 yang terlalu kental muatan keagamaan sambil bikin pusing para guru dan orang tua murid.

Begitu Anies menggantikan Nuh, langkah cerdas beliau yang pertama adalah menghentikan Kurikulum 2013 yang kacau itu. Sayangnya, tidak cukup waktu untuk menyusun kurikulum pengganti yang efektif. Meski begitu, Anies dikenal dengan berbagai gebrakan hebat, misalnya gerakan membaca buku non-pelajaran, melarang senior jadi panitia acara orientasi sekolah, hingga yang kemarin menganjurkan para orang tua mengantar anak di hari pertama. Beliau juga sangat tinggi kepedulian kepada Bhinneka Tunggal Ika, ketika beliau menyarankan para guru menggunakan konsep doa yang universal, yang berlaku bagi semua agama.

Kini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali jatuh ke tangan orang Muhammadiyah. Saya berusaha berpikir positif atas keputusan presiden yang satu ini. Saya terpikir satu hal yang lebih bisa dilakukan oleh Muhadjir ketimbang Anies, yaitu membenahi sekolah-sekolah Islam. Yang saya maksud di sini adalah Jaringan Sekolah Islam Terpadu milik PKS. Hingga kini, masih belum cukup jelas apakah sekolah semacam ini masuk domain Kementerian Pendidikan, ataukah disamakan dengan madrasah yang di bawah pengawasan Kementerian Agama.

Ketidakjelasan tersebut membuat para pengurus Sekolah Islam Terpadu seenaknya membuat agenda pengajaran. Ada SD Islam Terpadu di Brebes yang sengaja tidak menyelenggarakan upacara 17 Agustus. Mereka tak merasa bersalah ketika ditegur, bahkan berdalih upacara peringatan kemerdekaan sudah disatukan dengan upacara Hari Pramuka (!) tiga hari sebelumnya. Ada juga kabar tentang sekolah-sekolah tersebut yang sengaja tidak memajang foto para pahlawan nasional, sebagaimana lazimnya sekolah-sekolah lain. Dan kita sering mendengar bagaimana para murid di sana diberi banyak hafalan doa, tapi malah tidak diajarkan untuk menghafalkan Pancasila dan lagu Indonesia Raya.

Di luar Sekolah Islam Terpadu, dunia pendidikan Indonesia bermasalah karena disusupi oleh para pengusung ideologi keagamaan. Sebagai contoh, ada guru Pendidikan Kewarganegaraan, yang tak menghitung Konghucu sebagai agama resmi, serta terang-terangan ingin menghapus agama-agama pribumi Nusantara (bisa dibaca di sini). Di Kompasiana ini saja, ada sejumlah user berpredikat guru yang ingin Indonesia menerapkan syariah, bahkan ada yang mendukung khilafah. Menteri baru Muhadjir diharapkan mampu membenahi masalah-masalah semacam ini. Sedangkan Anies--dengan reputasi liberal sekulernya--sepertinya bakal dapat terlalu banyak resistensi untuk misi yang ini.

Mungkin muncul pertanyaan, maukah Muhadjir disuruh pemerintah untuk meluruskan para pendidik berideologi keagamaan untuk kembali ke pendidikan berdasarkan nasionalisme? Jawabannya ada pada pesan Presiden Jokowi dalam pelantikan para menteri baru kemarin. Beliau menyampaikan bahwa tak boleh ada lagi visi-misi tiap menteri. Yang ada hanyalah visi-misi presiden, sesuai prinsip presidensiil yang dianut oleh negara Indonesia. Jadi, Muhadjir wajib mengusung apapun kebijakan presiden dalam bidang pendidikan, bukannya jadi kepanjangan tangan Muhammadiyah.

Muhadjir tak boleh lupa bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia mengacu kepada konsep yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional kita. Bukan mengacu kepada konsep Ahmad Dahlan atau lainnya.

Sementara itu, kita sebagai warga negara Indonesia bisa berpartisipasi dengan mengawasi kinerja Menteri Muhadjir Effendy. Jika ia tak cukup konsisten menjalankan amanat presiden, kita minta saja presiden menggantinya. Kalau perlu, kembali ke Anies lagi.

Artikel terkait:

- Pendidikan sebagai Upaya Mengejar Ketertinggalan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun