Saya dulu suka nonton anime Saint Seiya yang ditayangkan RCTI setiap Senin jam 17:30. Di pertengahan cerita—ketika Ksatria Perak Seiya bertualang ke Eropa Utara—serial ini terputus oleh bulan puasa. Seperti biasa, RCTI memutar sinetron religi. Dengan sabar saya menunggu Saint Seiya diteruskan penayangannya. Ternyata setelah lebaran, slot waktunya diisi oleh sinetron lain.
Belakangan, saya dengar dari mailing list bahwa Saint Seiya sebenarnya diprotes oleh seorang ibu lewat surat pembaca di salah satu koran ibukota. Alasannya mengajarkan kekerasan bagi anak-anak. Padahal Saint Seiya, juga sinetron yang menggantikannya, ditujukan kepada penonton remaja. Yang saya paling sakit hati, sebulan lebih saya diberi harapan palsu. RCTI menggunakan momen bulan puasa untuk mengakali para penonton mudanya.
Berkat VCD, sudah lama saya akhirnya bisa menonton kelanjutan anime tersebut. Tapi, bulan puasa tak henti memberikan kesan buruk kepada diri saya.
Sebelumnya, bulan puasa cukup ditandai oleh tempat makan—mulai dari warteg hingga resto fast food—diberi tirai agar yang sedang makan di dalamnya tak terlihat dari luar. Tapi belakangan, mulai muncul keinginan kalangan tertentu agar tempat makan dilarang beroperasi siang hari. Sejumlah pemerintah daerah bukannya mendidik toleransi, malahan mengakomodasi keinginan egois tersebut lewat perda.
Aparat Polisi Pamong Praja yang digaji dengan uang rakyat mulai dikerahkan untuk merazia warung yang buka siang hari. Lebih parah lagi, gerombolan perusuh macam FPI melakukan aksi serupa, sementara polisi hanya bengong membiarkannya dari kejauhan.
Di bidang lain, bioskop jadi sangat dibatasi jam bukanya. Karaoke keluarga—bukan karaoke dewasa yang menggunakan purel—malah dilarang buka sebulan penuh. Saya sudah banyak bertanya tentang logika aturan semacam ini, dan hingga sekarang tak pernah dapat jawaban masuk akal.
Alhasil, acara yang menonjol di TV selama bulan puasa adalah adegan FPI memporakporandakan tempat yang mereka razia. Presiden Gus Dur menentang keras aksi tersebut, tapi jajaran kepolisian hanya memberikan imbauan tanpa makna. Dalam berbagai acara penting, petinggi polisi malah mengundang pimpinan gerombolan perusuh sebagai tamu terhormat. Para habib brutal pun semakin mekar hidungnya, merasa diberi angin.
Di kalangan kepala daerah, baru Gubernur Ahok yang berani tegas kepada FPI. Presiden Jokowi tentu tidak setuju aksi FPI, tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda jajaran kepolisian bertekad menghentikan FPI yang sudah lama meresahkan masyarakat luas.
Dalam bulan puasa ini, saya berharap akhirnya masyarakat kita bisa menikmati suasan Bhinneka Tunggal Ika. Tapi, harapan tersebut belum terkabul. Di Situbondo, MUI menyerukan semua tempat usaha mengharuskan pegawainya mengenakan baju koko dan jilbab. Padahal, tempo hari kan MUI memprotes pengusaha yang menerapkan kostum Santa Klaus sekitar natal. What a double standard..
Dari kabupaten Bogor, datang kabar lebih buruk lagi. Warung dirazia, aneka makanan diangkut oleh Satpol PP (hampir pasti dijadikan menu buka gratis bagi mereka), dan para pengunjung yang sedang makan dihukum push up. Anda tidak salah baca, para warga sipil ini benar-benar dikenai hukuman fisik hanya karena tidak berpuasa.
Bupati Bogor malah membenarkan praktik penghukuman tersebut. Setahu saya sih, hal seperti itu hanya ada di Aceh yang diberi wewenang khusus untuk menerapkan syariat, serta di negara-negara Timur Tengah.
Saya tidak suka bulan puasa, there I said it. Saya sangat menyayangkan bulan puasa dijadikan ajang pelanggaran gila-gilaan terhadap konsep kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Kita semua tahu Indonesia bukan negara Islam, melainkan negara yang ber-Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika, di mana konstitusi menegaskan bahwa agama merupakan hak, bukan kewajiban (selebihnya bisa dibaca di sini).
Saya ingin suatu saat bulan puasa benar-benar jadi bulan mulia, momen di mana setiap warga saling menghormati dalam segala perbedaan pilihan prinsip hidup. Saling menghormati antara yang puasa dan yang tidak puasa. Antara kaum agamis yang memilih untuk menjalankan ajaran agama dengan kaum abangan yang memilih untuk tidak menjalankan ajaran agama.
Sumber gambar: http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/759760/big/015550000_1414930918-saint-9ia35s.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H