Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila, Bukan Piagam Jakarta

1 Juni 2016   01:58 Diperbarui: 2 Juni 2016   11:15 1600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Indonesia amat sangat plural. Ada orang Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan berbagai agama lain yang berasal dari luar negeri. Ada pula agama Parmalim, Kaharingan, Sunda Wiwitan, dan berbagai agama lain yang asli Nusantara. Bahkan di kalangan internal agama pun, umat Islam misalnya, terbagi lagi dalam golongan agamis dan golongan abangan.

Semua orang mestinya tahu kebhinnekaan Indonesia. Tapi, tak semua pihak mau menerima kenyataan tersebut. Yang paling menonjol adalah sebagian—sekali lagi sebagian—golongan Islam agamis yang berambisi mendominasi. Mereka bukan hanya ingin menekan kaum abangan agar berubah jadi agamis. Mereka juga ingin Islam diistimewakan di atas semua keyakinan lain.

Ambisi dominasi ini muncul juga dalam rangkaian persidangan dalam merumuskan konsep negara Indonesia. Ketika itu, sebagian golongan Islam agamis bersikeras agar Indonesia jadi negara agama. Mereka memaksakan sila dasar negara bahwa semua orang Islam harus menjalankan syariat, serta pasal konstitusi bahwa agama negara adalah agama Islam, dan hanya orang Islam yang boleh jadi presiden.

Bahkan, dalam salinan dokumen otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, terungkap bahwa Ki Bagus Hadikusumo sempat ngotot agar kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” tidak disertai dengan kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya”. Itu berarti, warga beragama apapun hendak diwajibkan tunduk kepada syariat Islam.

Sungguh memprihatinkan bahwa di tengah kesempatan langka dalam masa penjajahan tersebut, ambisi kepentingan sempit golongan ternyata masih juga dikedepankan.

Untungnya, lebih banyak tokoh kita yang arif. Para tokoh dari kalangan Kristen dan Hindu keberatan karena menyadari betapa tidak sehatnya negara yang mendiskriminasikan warga berdasarkan agama. Para tokoh sekaliber Soekarno dan Hatta pun sepakat dengan keprihatinan tersebut, sehingga berusaha melawan kemauan egois sebagian golongan Islam agamis.

Hasilnya tercatat dengan tinta emas sejarah, yaitu digantinya Piagam Jakarta dengan Pancasila yang kita kenal sekarang. Bahkan, kata “mukaddimah” yang kearab-araban pun diganti dengan “pembukaan”.

Selanjutnya, dalam perjalanan mengisi kemerdekaan, kita bisa melihat kebijakan-kebijakan pemerintahan Soekarno-Hatta yang konsisten mengutamakan Bhinneka Tunggal Ika di atas kepentingan sempit golongan keagamaan. Misalnya, pemberontakan DI/TII yang hendak mengislamkan Indonesia diperangi dengan kekuatan militer penuh. KTP tidak mencantumkan kolom isian agama (selengkapnya bisa dilihat di sini). Serta agama tidak dijadikan pelajaran wajib di sekolah.

Sayangnya, sebagian golongan Islam agamis tetap ngotot. Persidangan Konstituante hasil Pemilu 1955 jadi molor karena deadlock. Voting berkali-kali diulang, padahal sudah jelas hasilnya selalu lebih banyak orang Indonesia mendukung Pancasila yang sekuler ketimbang yang mendukung syariat Islam.

Akibatnya, Presiden Soekarno terpaksa mengeluarkan dekrit, langkah awal membuatnya jadi diktator. Ia kemudian ditinggalkan oleh rekan-rekan seperjuangannya seperti Sutan Syahrir dan Hatta. Padahal jika sebagian golongan Islam agamis sedari awal mau meredam egonya, negara kita takkan mengalami masalah seperti itu.

Hingga kini, Pancasila tetap tak henti dirongrong oleh sebagian golongan Islam agamis. Lucunya, mereka menggunakan dua jalur. Jalur pertama adalah menuduh Pancasila sebagai nilai-nilai zionis, freemasonry, illuminati, atau semacamnya. Orang macam Abu Bakar Ba’asyir menyebut Pancasila sebagai barang haram yang tak boleh diikuti oleh orang Islam. Mereka juga menghujat lambang negara Garuda Pancasila, burung mitologi pagan yang tidak islami.

Jalur kedua adalah berusaha membelokkan makna Pancasila. Mereka seenaknya mengartikan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa hanya identik dengan Islam. “Esa itu berarti satu, sehingga hanya cocok dengan Islam. Beda dengan Kristen yang berkonsep trinitas, atau Hindu yang berkonsep trimurti,” begitu alasan mereka. Karena itu, lanjut mereka, hanya Islam yang pantas diterapkan untuk mengatur hukum negara.

Mereka keliru mengartikan esa sebagai satu, padahal seharusnya bermakna manunggal. Esa beda dengan eka. Dan yang terutama, kata Ketuhanan dengan awalan ke- dan akhiran -an menunjukkan suatu konsep pluralis. Ketuhanan mengacu bukan hanya kepada konsep Tuhan versi Islam, tapi juga versi Kristen, versi Hindu, juga versi agama-agama tradisional.

Alasan lainnya adalah penggunaan kata-kata adil, adab, dan hikmat yang berasal dari bahasa Arab berarti Pancasila mengistimewakan Islam. Konyol sekali. Dengan argumen semacam itu, maka hampir semua kata lainnya yang berasal dari bahasa Melayu kuno berarti Hindu dan Buddha seharusnya lebih diistimewakan.

Berikutnya, mereka menuduh perubahan dari Piagam Jakarta ke Pancasila merupakan konspirasi pihak nasionalis sekuler. Yang ini ada benarnya. Tapi, itu semua demi kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan, yang tak seharusnya dikorbankan oleh kepentingan sempit golongan agama. Apalagi, Hatta sebagai pelaku utama perubahan tersebut dikenal sebagai sosok yang bersih dan tulus.

Dan yang belakangan mereka propagandakan, Dekrit Presiden 1959 sebagai tonggak berlakunya kembali Piagam Jakarta. Padahal, setelah dekrit itu tak ada perubahan kebijakan negara. Kata-kata dalam Pancasila dan konstitusi tetap tanpa syariat. KTP tetap tanpa kolom isian agama. Agama tetap bukan pelajaran wajib. DI/TII tetap diperangi. Tak satupun muncul aturan baru keagamaan hingga akhir pemerintahan Soekarno.

Kata “dijiwai” dalam dekrit memang tak ada konsekuensi hukum apapun. Apakah Soekarno hanya mengakali para pendukung Piagam Jakarta? Iya, they deserved it. Dan itu justru semakin menunjukkan kearifan beliau melindungi keutuhan bangsa dan negara.

Dan hari ini, kita memperingati lahirnya Pancasila. Mari kita jalankan Pancasila sesuai yang diamanatkan oleh para pendiri negara kita, tanpa embel-embel syariat atau semacamnya.

sumber gambar: http://orig08.deviantart.net/8e97/f/2012/340/b/e/be8c7a7c088010c0da84065259e4505d-d5n9pom.png

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun