Game Street Fighter II masuk Indonesia pada 1991. Dalam waktu singkat, pelopor genre fighting tersebut hadir hingga pelosok kampung, dalam wujud mesin arcade yang dimainkan dengan koin seratusan oleh anak-anak hingga orang dewasa.
Salah satu karakter petarung dalam Street Fighter II adalah Zangief, pegulat Rusia. Awalnya, stage milik Zangief tidak diapa-apakan. Kemudian, entah bagaimana diterapkan sensor yang membuat seluruh bagian lantainya berwarna hitam. Penyebabnya, ada lambang palu-arit di sana.
Di zaman Orde Baru seperti itu, mudah muncul tuduhan bahwa lambang palu-arit dalam sebuah game berarti propaganda komunisme. Siapapun yang menuduh tak mau tahu bahwa Zangief digambarkan akrab dengan Presiden Gorbachev, peruntuh rejim komunis Uni Soviet. Tak mau tahu bahwa tuduhan “propaganda komunisme lewat video game” sangat absurd mengingat pemerintah RRC yg komunis saat itu malah memusuhi video game dan menyebutnya sebagai “kokain elektronik”. Pokoknya, setiap ada lambang palu-arit—apapun konteksnya—dianggap PKI.. titik.
Saya mengira paranoia yang bodoh seperti itu tinggal relik masa silam. Tapi, saya keliru..
Belum lama ini, Kapolri Badrodin Haiti memerintahkan penindakan kepada penjual kaos bertema Kreator: Live in East Berlin. Alasannya seperti puluhan tahun lalu, yaitu ada lambang palu-arit yang dianggap sebagai propaganda PKI.
Yang saya tahu sih, Kreator itu grup trash metal asal Jerman Barat. Mereka pernah berkonser di Berlin Timur, seusai runtuhnya rejim komunis Jerman Timur. Gambar palu-aritnya adalah bagaimana mereka menggambarkan bagian kota tempat mereka berkonser tersebut. Jadi, sama sekali bukan dukungan terhadap komunisme, serta sama sekali tak berkaitan dengan PKI.
Tak pelak, muncul banyak kritik atas sikap kepolisian. Badrodin malah membela tindakannya. Entah karena tak kunjung paham situasi sebenarnya, atau sekadar gengsi mengakui kekeliruannya. Padahal, Menko Polhukam Luhut Panjaitan—yang notabene mantan jenderal Angkatan Darat—meminta aparat tak berlebihan menyikapi munculnya lambang palu-arit.
Sepertinya bangsa kita perlu edukasi lebih lanjut tentang komunisme. Memang benar bahwa rejim komunis di masa lalu banyak menimbulkan masalah. Mulai dari pembantaian massal di Rusia, revolusi kebudayaan di RRC, ladang pembantaian selama rejim Khmer Merah, serta represi hak-hak sipil di negara-negara Blok Timur.
Tapi, siapapun tahu bahwa di zaman sekarang tak ada peluang bagi komunisme untuk bangkit kembali. Komunis Rusia tak pernah meraih dukungan signifikan dalam semua pemilu pasca-Uni Soviet. RRC—sebagai negara komunis terkuat—sudah banyak meninggalkan nilai-nilai komunisnya. Kuba sedang siap-siap membuka diri setelah turunnya Fidel Castro. Sedangkan Korea Utara jadi negara pariah yang tak bakal diteladani oleh masyarakat waras manapun.
Perang Dingin sudah berakhir dengan kekalahan kubu komunis oleh kubu liberalis. Tapi, bukan berarti orang-orang komunis beserta nilai-nilai mereka ditumpas seperti di Indonesia. Negara-negara Blok Barat mengakomodasi pemikiran sosialis, untuk menyempurnakan liberalisme itu sendiri. Hasilnya, pada dekade 1990an muncul New Left, yang para ikonnya adalah Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Perdana Menteri Prancis Lionel Jospin, dan Kanselir Jerman Gerard Schroeder.
Bayangkan, dalam kurun waktu yang sama, para pemimpin beraliran kiri berkuasa di negara-negara liberal paling terkemuka. Itulah bedanya bangsa yang rasional dengan sebagian orang Indonesia yang mau-maunya terus ditakuti oleh hantu komunisme.
Kaum menengah di Indonesia sudah sangat banyak dan sangat kuat posisinya. Mereka terbiasa dengan mudahnya aspirasi politik—terutama lewat dunia maya—serta banyak yang familier dengan kehidupan hedonis khas liberalisme. Keberadaan mereka inilah yang membuat peluang komunis berkuasa di Indonesia jadi nol persen.
Jika niatnya melindungi Pancasila—sebagaimana klaim Badrodin—maka yang perlu diwaspadai adalah suatu golongan lain. Ada pengurus MUI terang-terangan menentang upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan, polisi diam saja. Begitu banyak situs internet menjelek-jelekkan Pancasila, dengan tujuan menggusurnya dengan ideologi keagamaan, dibiarkan saja. Bahkan, organisasi transnasional yang berambisi merobohkan Republik Indonesia dan menggantinya dengan rejim theokratis khilafah islamiyah, malah diizinkan menggelar acara di Gelora Bung Karno. Apa-apaan tuh..
Ada kenalan saya beraliran kiri bilang begini, “Seandainya kaum bigot sampai berkuasa, ketika kaum pro-Pancasila terpaksa jadi buronan politik, maka ajakan bersekutu dari kaum komunis untuk merobohkan rejim bigot tersebut bakal terasa sangat melegakan..”
sumber gambar: Youtube <https://i.ytimg.com/vi/EzdY2LmlTQc/maxresdefault.jpg>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H