Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antiklimaks Aturan Baru Menteri Jonan

24 April 2016   13:14 Diperbarui: 29 April 2016   02:36 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi - taksi online (Shutterstock)"][/caption]Kementerian Perhubungan merilis aturan baru tentang transportasi berbasis online, yaitu Peraturan Menteri nomor 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Sayangnya, aturan tersebut antiklimaks karena tidak mewadahi kepentingan masyarakat modern yang selama ini diuntungkan oleh keberadaan taksi Uber dan semacamnya.

Sejumlah poin terlihat jelas mempersulit keberadaan taksi online, misalnya STNK setiap kendaraan harus atas nama perusahaan, sementara perusahaannya sendiri harus punya pool. Selama ini kan mitra taksi Uber adalah para pegawai, ibu rumah tangga, serta para mahasiswa yang punya kendaraan pribadi. Aturan tersebut membuat para pengemudi tersebut jadi enggan melibatkan kendaraan pribadinya dalam bisnis taksi online.

Munculnya aturan ini menunjukkan bahwa Menteri Jonan sesat pikir dalam dua hal. Pertama, tentang esensi aturan. Klien utama Kementerian Perhubungan yang paling diprioritaskan seharusnya masyarakat luas sebagai pengguna transportasi, bukan segelintir pengusaha transportasi reguler. Kepentingan masyarakat harus diutamakan, dalam hal ini keamanan dan kenyamanan transportasi.

Sistem komunitas maya yang diterapkan oleh taksi Uber sebenarnya sudah memenuhi asas keamanan dan kenyamanan. Aturan baru seharusnya mengakomodasi sistem komunitas maya. Bukannya malah memaksa taksi Uber mengikuti standar taksi reguler yang sebenarnya tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat pengguna taksi online.

Aturanlah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan kepentingan masyarakat luas. Jangan dibalik, di mana masyarakat luas yang dikorbankan kepentingannya hanya demi berlangsungnya aturan, sebagaimana di negara-negara tiran.

Kedua, tentang proteksi. Ini bukan proteksi antara pengusaha lokal versus pengusaha asing. Para pengemudi taksi online adalah saudara-saudara sebangsa kita, yang berhak memilih bisnis apa pun sesuai modal yang mereka miliki. Ini adalah kepentingan masyarakat luas versus kepentingan pengusaha taksi reguler, di mana proteksi jelas tak pada tempatnya.

Saya belum akan ikut-ikutan menuduh bahwa Menteri Jonan terima duit dari para pengusaha besar yang tergabung dalam Organda. Tapi, memang jelas sekali pemihakan menteri yang satu ini kepada transportasi reguler. Padahal, pemihakan seperti itu kontraproduktif terhadap kemajuan bangsa.

Kita sudah sering melihat kemajuan yang menimbulkan korban. Itu tak bisa dihindarkan. Ketika ponsel semakin murah, para pengusaha pager dan wartel gulung tikar. Jikapun tidak bangkrut, perusahaan dipaksa untuk mengubah strategi dasar bisnisnya. Hal yang ini dilakukan oleh PT Pos Indonesia, setelah pengiriman surat berkurang jauh signifikansinya.

Bisnis dalam laju kemajuan zaman itu ibaratnya lomba lari. Tentu saja ada yang punya keunggulan tertentu sehingga bisa berlari lebih kencang. Jika hendak menolong, Kementerian Perhubungan seharusnya membantu perusahaan taksi reguler agar lebih mampu bersaing. Bentuknya adalah deregulasi, misalnya memangkas pungutan ini-itu yang membuat tarif taksi reguler mahal. Atau bentuk-bentuk insentif lainnya. Tapi, jangan sampai bantuannya berupa menjegal taksi onlinesebagai pemain baru yang lebih kencang.

Jika nantinya perusahaan taksi reguler ternyata tak tertolong lagi, ya apa boleh buat. C'est la vie. Pemerintah toh tak ada alasan menyesali kenapa perusahaan pager, atau keluarga kecil dengan boothwartel di rumah, jadi bertumbangan oleh maraknya ponsel. Karena masyarakat luas sebenarnya juga tak dirugikan oleh pudarnya bisnis pager, bisnis wartel, atau bisnis taksi reguler (jika nantinya ambruk), asalkan ada bentuk bisnis lain yang melayani secara lebih baik.

Kementerian Perhubungan perlu segera merevisi aturan baru ini. Para sopir taksi--atas perintah perusahaan--bisa melakukan demo besar-besaran yang sampai anarkis. Tapi, masyarakat luas pengguna transportasi juga bisa melakukan reaksi balasan berupa penggalangan opini onlinedan boikot massal yang membuat bangkrut perusahaan taksi reguler. Kementerian Perhubungan, sekalipun dengan dukungan kepolisian, takkan mampu mencegah warga yang memilih mencari tumpangan berbayar lewat situs pertemanan di internet.

Artikel terkait:

Taksi Uber itu Semacam Situs Pertemanan

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun