Akhir tahun 2003, saya bersama seorang teman perempuan bepergian dari Surabaya ke Jakarta naik kereta api. Argo Anggrek tiba di stasiun Gambir sekitar jam 5 sore. Kami makan sebentar di Hokaben sebelum siap-siap mencari taksi menuju hotel di daerah Jakarta Selatan. Saya sebutkan kekuatiran bahwa sopir taksi di stasiun seringkali minta tanpa argo.
Tiba-tiba ada gadis sebaya teman saya mendekati meja. Rupanya, ia mendengar percakapan kami. Setelah memperkenalkan namanya, ia menawarkan tumpangan di mobilnya, sebuah Kijang Innova keluaran baru. Tapi tidak gratis, katanya sambil tersenyum. Ia menuliskan sebaris angka di ponsel mungil Ericsson-nya, lalu menunjukkan kepada kami. Untuk uang pengganti bensin, katanya lagi.
Saya dan teman saya tidak begitu paham jalanan Jakarta. Tapi, kami tahu bahwa angka tersebut jauh lebih murah ketimbang biaya naik taksi. ”Mbak ke sini tadi sama siapa?” tanya saya. Ia jawab bahwa tadi ia mengantar mamanya yang hendak naik kereta Parahyangan menuju Bandung.
Lalu, saya bertanya pendapat teman saya. Rupanya ia tertarik. ”Patungan kita jadi lebih ringan lho,” alasannya. Dan memang masuk akal. Seusai makan, kami pun mengikutinya menuju mobil yang terparkir. Setelah menaikkan koper di belakang, saya memilih duduk di tengah. Sementara teman saya duduk di samping gadis yang mengemudikan mobil tersebut.
Alasan saya duduk di tengah sendirian adalah kewaspadaan. Saya berusaha memikirkan sebanyak mungkin skenario bahwa tumpangan tersebut merupakan suatu modus operandi kejahatan. Tiba-tiba ada orang masuk lalu merampok kami, misalnya. Saya ingin bisa mengantisipasi apapun. Tapi, sampai akhirnya tiba di depan hotel, kekuatiran saya tak beralasan.
Sambil menyerahkan uang yang disepakati, teman saya bertukar nomor ponsel dengan gadis tersebut. Juga ID Friendster—masih belum zamannya Facebook. Sampai beberapa tahun setelah tumpangan tersebut, teman saya berteman secara maya dengannya.
Ketika kemudian mendengar tentang Taksi Uber sekitar tahun 2010, saya jadi teringat kepada tumpangan di Jakarta tersebut. Saya menangkap banyak kemiripan pola antara keduanya. Sama-sama dimulai dengan pertemanan, meski singkat, lalu dilanjutkan dengan kegiatan menumpang dengan membayar sejumlah uang yang lebih murah ketimbang taksi reguler. Juga sama-sama menggunakan mobil pribadi yang nyaman.
Oh, jadi ini semacam situs pertemanan yang kegiatannya memberikan tumpangan dengan mobil pribadi, begitu kesimpulan saya. Sebagaimana situs pertemanan, para penumpang dan para pemilik mobil dipertemukan dalam suatu komunitas. Jika ada pemilik mobil yang berperilaku buruk, misalnya, maka keburukan tersebut akan tersebar di antara para penumpang. Sanksi pun menanti berupa dikeluarkan dari komunitas.
Secara naluriah, saya langsung memikirkan efek lanjutannya. Suatu saat nanti, para pengusaha taksi reguler bakal terancam oleh kegiatan semacam ini, begitu saya memprediksi. Selama beberapa tahun berikutnya, Taksi Uber menjalankan operasi di Indonesia dan berkembang pesat. Dan tibalah pekan ini, ketika para sopir taksi reguler Jakarta melakukan aksi demo yang anarkis, menentang kehadiran Taksi Uber.
Saya tidak heran jika demo kemarin jadi rusuh. Sudah lama saya tahu berbagai kebiasaan buruk sebagian—entah sebagian besar atau sebagian kecil—sopir taksi. Mulai dari menentukan tarif seenaknya, sebagaimana saya sebutkan tentang stasiun Gambir di atas. Saya kadang mengalami sopir taksi yang melayani saya diteriaki huu oleh rekan-rekannya, karena dia mau memenuhi tuntutan saya untuk memakai argo.
Lalu, ada kecurangan lain seperti sengaja mengambil jalur berputar atau jalur macet agar tarif argo jadi mahal. Atau mengakali alat argo-nya sehingga hitungannya tidak akurat. Atau—hal kecil tapi menjengkelkan—mengaku tidak punya uang kecil untuk kembalian, sehingga penumpang terpaksa membayar lebih mahal daripada semestinya.