Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Taksi Uber Itu Semacam Situs Pertemanan

26 Maret 2016   09:46 Diperbarui: 27 April 2016   01:11 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Modus seperti itu cukup sering terjadi, hingga mudah diduga kalangan sopir taksi memang menjadikannya kebiasaan. Kelompok yang terbiasa korup seperti itu, biasanya gampang gusar atau mata gelap jika merasa kepentingannya dirugikan. Terlepas apakah pihak yang dianggap merugikannya dalam posisi benar atau salah.

Mata gelapnya ngawur sekali. Sopir Kopaja diserang, padahal bus kota dan taksi punya pasar yang berbeda. Pengemudi GoJek juga diserang. Padahal, jika ojek memang kompetitor, maka pastilah sejak lama sopir taksi menyerang ojek pangkalan, jauh sebelum munculnya GoJek. Kerusakan fisik—serta psikologis—yang diakibatkan demo anarkis tersebut sungguh tak bisa dimaklumi ataupun dimaafkan.

Tak kalah ngawur adalah tuntutannya. Mereka ingin pemerintah melarang segala kegiatan transportasi online. Pihak Organda berusaha memperhalus tuntutan tersebut dengan meminta pemerintah mengharuskan Taksi Uber dan semacamnya menjalani uji kir dan pemasangan plat kuning sebagaimana taksi reguler.

Masalahnya, Taksi Uber adalah kendaraan pribadi. Beda dengan taksi reguler, Taksi Uber digunakan untuk keperluan pribadi—dipakai sendiri atau mengantar keluarga sendiri—jika sedang tidak beroperasi. Kenapa kendaraan pribadi seperti itu diharuskan berplat kuning? Sementara selama puluhan tahun, kegiatan rental mobil tetap berplat hitam tanpa ada yang protes.

Tentang uji kir, kita tengok kembali apa tujuan pemerintah menerapkannya. Uji kir diadakan untuk menjamin keselamatan para penumpang, agar setiap kendaraan umum—termasuk taksi reguler—selalu laik jalan. Sedangkan Taksi Uber sudah pasti laik jalan, karena merupakan kendaraan pribadi yang relatif baru.

Taksi reguler diharuskan punya badan hukum, agar pemerintah bisa menindak jika taksinya merugikan kepentingan penumpangnya. Taksi Uber sedari awal sudah punya sistem yang tak kalah ampuhnya, yaitu komunitas maya. Jangankan ada yang melakukan kejahatan kepada penumpang, ada pengemudi yang badannya berbau pun bisa jadi topik yang viral di antara para penggunanya.

Segala detail perjalanan dalam kegiatan Taksi Uber terdokumentasi. Identitas pengemudi beserta mobilnya, lewat jalur mana saja, serta waktu perjalanan, semua leluasa diakses. Jadi, segala aspek yang menyangkut hak penumpang telah terakomodasi, tanpa bergantung aturan ini-itu dari pemerintah.

Tentang harga yang lebih murah, itu konsekuensi dari kreativitas sistem operasionalnya. Meski nantinya tiap pengemudi Taksi Uber dipungut pajak—misalnya lewat pendaftaran NPWP ke penyelenggara layanan—tarifnya tetap jauh lebih murah ketimbang taksi reguler.

Inovasi selalu menimbulkan korban. Dulu, banyak pengusaha wartel—yang tersebar hingga pelosok kampung dan desa—mengalami kerugian ketika semakin murahnya ponsel menggusur bisnis wartel. Saya sudah menanyakan analogi ini kepada sejumlah kenalan yang membela para sopir taksi reguler. Hasilnya, meski demi kepentingan orang-orang kecil pengusaha wartel, tak ada yang sudi mengorbankan kemudahan berponsel dan kembali ke zaman wartel.

Bagaikan laut, ombak perubahan selalu datang silih-berganti. Dulu, Taksi Blue Bird jadi ombak perubahan. Kini, giliran mereka yang diterjang oleh ombak baru bernama Taksi Uber. Saya bayangkan nantinya sebagian besar sopir taksi reguler diserap oleh jaringan Taksi Uber, sebagaimana GoJek menyerap banyak pengemudi ojek pangkalan. Sementara perusahaan-perusahaan macam Blue Bird beradaptasi jadi mitra Taksi Uber, dengan fungsi mengorganisir para mantan sopir taksi reguler agar punya kendaraan operasional yang berkualitas bagus.

Pemikiran saya yang seperti ini sempat memunculkan tuduhan bahwa saya tak peduli kepada nasib para korban kemajuan teknologi. Tapi sebenarnya, saya merasakan sendiri akibat perkembangan zaman. Saya berkarir belasan tahun di dunia media cetak. Ketika ombak perubahan bernama media online menerpa, mau tak mau saya harus belajar lagi dari awal.

Kemajuan bukanlah untuk dilawan arusnya, melainkan untuk direnangi demi tercapainya masa depan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun