Mohon tunggu...
Radius Pane
Radius Pane Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kritis atau Krisis?

17 April 2017   11:39 Diperbarui: 17 April 2017   20:00 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang manusia bersikap bodoh ketika berusaha untuk menjadi kritis. Mengkritisi sesuatu hal yang tidak perlu dikritisi tetapi bungkam ketika dipertanyakan mengenai solusi. Apakah pendidikan di Indonesia secara tidak langsung mengajarkan kepada anak Indonesia untuk mencari sebuah kesalahan dari suatu objek tanpa memberi sebuah solusi ? 


Atau ini hanya penyakit anak Indonesia, yang ingin berusaha tampil eksis di panggung politik Indonesia dengan berusaha tampil kristis dengan mencari kesalahan dari suatu objek?  Kalau ini memang masih terjadi sampai saat ini, lalu bagaimana Indonesia bisa melangkahkan kakinya untuk menggapai status menjadi Negara Maju kalau perdebatan yang tidak perlu tetap dipertahankan di dalam negeri?


Lalu perlukah kita membangkitkan kembali para pahlawan terdahulu yang telah berjuang keras untuk memberikan sebuah kebebasan kepada negeri ini, agar mereka dapat memberikan secara langsung apa tujuan yang sebenarnya dari sebuah kemerdekaan yang diperjuangkan pada waktu itu ?Kalau memang ini dianggap sebuah kesalahan pada anak Indonesia, berarti yang  salah bukanlah mereka tetapi pendidikan di negara inilah yang telah mengasah mereka untuk menjadi seperti skg ini. Wajar saja pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi anak bangsa, pemerintah saja mewajibkan setiap anak bangsa untuk mengikuti belajar minimal 12 tahun (6 tahun SD+3 tahun SMP+3 tahun SMA) belum lagi dijumlah dengan berapa tahun mereka yang akan di perguruan tinggi. Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa pendidikan di negeri ini tidak akan mempengaruhi pola pikir dan cara berpikir anak negeri.


 Fenomena kekritisi ini berkembang sejak bergulirnya Sang Jenderal Penguasa Tanah Air : Presiden Soeharto. Dimulai pada saat itu mulai bermunculan para kritikus yang tampil dengan gaya sastra yang menarik hati para pendengar dan pembacanya. Kebebasan mengkritisi suatu objek dan menagih janji-janji para penguasa, hingga aksi turun jalan pun bebas dilakukan dimulai pada waktu itu. Tetapi sangat disayangkan, kebiasaan mengkritik itu pun terbangun menjadi kuat hingga saat ini, kebiasaan mengkritik sesuatu hal yang tidak semestinya malah semakin marak terjadi. Bahkan bukan tidak sedikit kritisasi yang berbau pemberitaan palsu terjadi saat ini. Kebebasan itu semua telah semakin merajalela sampai saat ini. Dan kurangnya pengawasan dari berbagai pihak, menjadikan tidak sedikit pengikut-pengikutnya yang menjadi kader bagi kaum mereka. 


Kebebasan berpendapat ini menjadi kesukaan anak Indonesia untuk menjadi bagian kritikus-kritikus yang bebas menyampaikan pendapatnya yang cukup kritis tanpa ada solusi yang realistis.  Apakah ini salah satu yang diharapkan dari masa Reformasi yang tekah berlalu ? Lalu sampai kapankah hal ini akan berlanjut. Atau memang hal ini suatu hal yang cukup baik untuk perkembangan anak Indonesia sebagai calon penerus para pemimpin ? Siapa  yang tahu jawabannya mana yang salah atau mana yang benar ?

 #tulisanparlapotuak

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun