Mohon tunggu...
Irwan121
Irwan121 Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis Budaya, Politik dan Filsafat

Penggagas Intelijen Maritim, Koordinator Gerakan Nasional Sadar Maritim, Penulis, Pengagum BUYA HAMKA, Rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membongkar Modus Kecurangan Pemilu

13 Februari 2019   14:32 Diperbarui: 24 Februari 2019   21:35 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hiruk pikuk menjelang perhelatan demokrasi jelang pemilu 2019 sudah semakin meriah. Adu isu dan opini antar kontestan pemilu terkait pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif mewarnai pemberitaan media. Pertarungan kemudian terkadang bergeser ke tema-tema yang bersifat personal dan masuk keruang yang justru tidak substantif.

Yang menarik untuk dicermati dalam setiap momentum pemilu sebenarnya adalah tentang isu kecurangan. Bagi pihak yang berada dikutub oposisi, kecurigaan terhadap adanya praktik kecurangan tetaplah menjadi perhatian utama mengingat mereka tidak berada dalam posisi yang memiliki kendali organisatoris kepada institusi-institusi negara, yang dalam thesis kecurangan pemilu 'tetap dapat dikendalikan' untuk kepentingan petahana.

Bagaimana sebenarnya kecurangan pemilu dapat terjadi, dengan modus seperti apa kecurangan dapat dipraktikan, hal tersebut yang harus dibongkar demi terhindarnya pemilu dari kemerosotan kualitasnya. Membuka dan membongkar modus kecurangan pemilu adalah salahsatu ikhtiar kita yang paling penting bagi masa depan bangsa dan negara.

Lebih dari setahun lalu, banyak pihak telah mengingatkan pemerintah terkait adanya dugaan KTP ganda, palsu dan termasuk juga dugaan adanya NIK yang dimanipulasi. Hal tersebut memang telah pula berulang kali dibantah oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, yang mengatakan bahwa dugaan-dugaan tersebut tidak mendasar dan tidak memiliki bukti yang sahih.

Uniknya, justru seiring waktu, bukti-bukti ditemukannya puluhan atau mungkin ratusan KTP di banyak tempat malah secara telanjang diketahui publik. Walaupun sekali lagi dibantah bahwa keberadaan KTP yang dianggap 'reject' tersebut memiliki keterkaitan dengan pemilih di pemilu 2019, tuduhan-tuduhan mengarah kesana muncul pula. Lalu, bagaimana sebenarnya kaitan keberadaan KTP tanpa pemilik tersebut dengan kecurangan pemilu?

Baiklah, mari kita cermati satu demi satu.

Modus Memompa Jumlah Pemilih

Jika kita pahami baik-baik maka dapat dipastikan bahwa salahsatu modus melakukan kecurangan pemilih yang paling klasik adalah memompa jumlah pemilih. Ini berarti merekayasa pemilih fiktif, yang tentu saja akan membengkakkan jumlah pemilih dari jumlah sebenarnya. Untuk melakukannya, maka secara sistemik juga harus diciptakan identitas para pemilih fiktif tersebut. Dari situlah akhirnya kita mahfum mengapa banyak pihak merisaukan temuan KTP-KTP tak bertuan di mana-mana belakangan ini. Bila modus memompa jumlah pemilih (dengan merekayasa pemilih dengan identitas fiktif) telah berhasil dilakukan, maka pertanyaan selanjutnya adalah lewat TPS yang mana pemilih fiktif tersebut akan memuarakan 'suara pilihannya'?

Secara praksis, pemilih fiktif teramat sulit dimasukkan sebagai pemilih di TPS-TPS resmi yang faktual, mengingat jika jumlah pemilih per TPS saat ini berjumlah antara 200-300 pemilih saja, dan dapat dipastikan antar pemilih akan amat saling mengenal satu sama lain karena berasal dari lingkungan tempat tinggal yang sama, maka memasukkan nama pemilih asing ke TPS tersebut akan beresiko diketahui oleh pemilih resmi yang ada.

Modus langkah berikutnya tentulah akan muncul TPS-TPS fiktif, yang keberadaannya tidak diketahui. Ditempat pemilihan fiktif inilah, suara pemilih fiktif akan dieksekusi. Tentunya semua perangkatnyapun fiktif. Tidak ada petugas KPPS, saksi dan lainnya. Langkah berikutnya adalah, bagaimana suara tersebut bisa ditabulasi kedalam perhitungan perangkat penyelenggara pemilihan?

Pertama, dengan mengadakan 'kertas suara palsu' yang tentunya sudah direkayasa untuk memilih calon tertentu. Jadi rentetan akhirnya adalah pemilih fiktif, memilih di TPS fiktif, menggunakan kertas suara palsu.

Kedua, dengan langsung masuk ke tabulasi suara dengan formulir C1 dan selanjutnya yang juga palsu. Rentetan modus kedua adalah pemilih fiktif, TPS fiktif, tabulasi suara fiktif dengan formulir penghitungan suara palsu.

Ketiga, melakukan shortcut dengan tidak membuat kertas suara atau formulir penghitungan suara palsu tetapi langsung 'bermain' di proses tabulasi angka perolehan suara.

Ketiga skenario tersebut amatlah mungkin terjadi dikarenakan masih lemahnya rentang kendali pengawasan terutama didaerah-daerah terpencil. Hal ini hanya teramat mungkin dilakukan dengan pemetaan sosio-geografis yang cukup detail dan terukur. Serta diperlukan penguasaan yang cukup kuat terhadap penyelenggara pemilihan lokal termasuk juga terhadap aparat negara yang menjaga dan mengawasi pelaksanaan pemilihan di tingkat lokal.

Modus Penguasaan Instrumen Pemilihan Lokal

Modus ini lebih tradisional lagi, mengingat praktik struktural ini sudah secara sistemik dilakukan berulang-ulang di pemilu era Orde Baru yang menempatkan Golkar selalu sebagai pemenang. Mekanisme kecurangan dengan modus ini biasanya dilakukan lebih awal dengan cara menempatkan orang-orang yang dianggap bisa 'membantu' calon tertentu sebagai KPPS di TPS, PPS di desa dan PPK di kecamatan.

Secara sistemik, biasanya para KPPS "binaan" ini akan membuka TPS lebih pagi dari ketentuan, mengorganisir pemilih calon tertentu untuk memilih lebih dulu serta menutup TPS sebelum waktunya. Di TPS-TPS yang KPPSnya telah direktut calon tertentu biasanya formulir C6 yang berisi jumlah dan daftar pemilih di TPS tersebut tidak dibuka alias 'diendapkan', sehingga pemilih tidak dapat mengetahui berapa jumlah pemilih di TPS itu dan berapa sisa suara tidak terpakai karena pemilihnya tidak menggunakan hak pilih, apalagi jika TPS ditutup lebih awal dari waktu seharusnya.

Biasanya, kertas suara tidak terpakai akan "digarap" diperjalanan menuju PPS di kantor desa. Kertas-kertas suara tersebut akan dicoblosi untuk calon tertentu, bahkan kertas suara pemilih yang telah dicoblos calon lainnya bisa dibuat menjadi 'blangko' atau rusak. Praktik ini dikenal dengan istilah "memacul suara". Biasanya oknum penyelenggara pemilihan lokal yang menjadi anasir praktik ini juga dibekali segel kotak suara untuk mengganti segel lama yang dirusak untuk membuka kotak suara ditengah perjalanan.

Walaupun terkadang masih sering terjadi perdebatan antar saksi calon karena terjadi ketidak-cocokan perolehan suara di TPS, biasanya kemudian akan ditentukan hasil akhirnya dengan membuka kotak suara dan menghitung ulang kertas suara. Tentu saja penghitungan perolehan suara berbasis kertas suara akan memenangkan calon yang sudah merekayasa proses pemilihan, mengingat kertas suara sudah dipacul diperjalanan.

Ke Mana Dana Pemilihan Seorang Calon Dibelanjakan?

Kita selalu berdebat tentang dana kampanye, baik dana kampanye perorangan (caleg atau capres) maupun partai politik. Bahkan KPU membuat persyaratan ketat tentang aturan sumber dana kampanye tersebut. Kita lalu mengabaikan persoalan dimana dana kampanye tersebut dipergunakan. KPU mensinyalir adanya praktik politik uang dengan menguncinya lewat aturan penerimaan dana kampanye.

Padahal sumber dana kampanye itu hanyalah persoalan di hulu, kita kemudian ikut mengabaikan proses di hilir, yaitu dimana dana tersebut dibelanjakan. Sebesar apapun dana kampanye dimiliki seorang calon atau partai politik, jika dana tersebut tidak bisa dibelanjakan untuk membeli suara maka itu bukanlah merupakan suatu ancaman.

Pertanyaannya dimanakah dana tersebut dapat dibelanjakan untuk membeli suara? Banyak opini menggiring kita pada asumsi bahwa seorang calon atau partai politik bisa membeli suara dari pemilih. Kampanye dan propaganda "tolak politik uang" dikumandangkan sejak lama, dan itu diarahkan kepada massa pemilih. Benarkan masyarakat pemilih bisa dibeli suaranya lewat memberi mereka uang?

Tampaknya kemungkinan tersebut hanya efektif di angka sepuluh hingga lima belas persen saja. Sisanya mayoritas uang yang diberi tidak akan mampu merubah pilihan, istilah lain adalah uang diambil tapi memilih tetap sesuai keinginan. Dengan menempatkan pemilih sebagai tempat belanja suara sama saja dengan menista kualitas pemilih kita.

Lalu di mana praktik belanja suara sesungguhnya dapat dilakukan? Belanja suara akhirnya hanya akan dilakukan lewat oknum-oknum penyelenggara pemilihan, terutama dimulai di tingkat kabupaten/kota. Maka tidak heran jika ada seorang calon, tidak pernah terdengar bersosialisasi, bahkan tidak punya suara signifikan di TPS tapi bisa lolos dan menang pemilihan.

Tugas berat KPU adalah memastikan aparatur mereka didaerah hingga tingkat TPS untuk tidak bermain untuk calon dan partai tertentu. KPU juga harus bisa menjamin praktik belanja suara tidak terjadi lewat oknum-oknum penyelenggara di tingkat lokal. Berdasarkan uraian diatas maka upaya dan ikhtiar kita untuk mengawasi dan mencegah kecurangan proses pemilu dapat setidaknya ditekan seminimal mungkin.

Pengetahuan tentang praktik modus kecurangan seharusnya menjadi bekal pengetahuan masyarakat pemilih agar suara mereka tidak termanipulasi dan akhirnya pemilih dapat menghasilkan pemimpin yang genuine, otentik dan amanah. Hanya dengan menekan tingkat kecurangan secara sungguh-sungguh, pada akhirnya kita dapat secara paralel meningkatkan kualitas sebuah pemilu.

Oleh : Irwan S
Pendiri REBUILD INDONESIA Foundation
Kader Partai Demokrat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun