Yogyakarta-Kekerasan seksual yang menjadi isu laten yang tak kunjung berhenti di Indonesia, isu ini terus berangsur dan semakin banyak korbannya. Bayangkan saja dari data yang didapat ada 1280 perempuan korban kekerasan seksual pada tahun 2016 di DIY. Bila data dipaparkan ke dalam demografinya, laki-laki terhitung sejumlah 247 orang yang menjadi korban, mirisnya kebanyakan korban bukan laki-laki dewasa melainkan anak-anak. Untuk perempuan, usia produktif yaitu dalam rentang 25-59 tahun.
Dengan data yang begitu mengejutkan ini bisa dikatakan bahwa kualitas penduduk tidak baik, dan tidak mengalami kesejahteraan. Tidak hanya masyarakat biasa, ironisnya masyarakat disabilitas juga menjadi korban. Maka perlu diadakannya suatu diskusi yang mana bisa memaparkan kegunaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Dalam diskusi publik yang diadakan di Kampus 3 Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Center for Impoving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) mengadakan diskusi ini untuk membahas terkait Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.Â
Dalam diskusi ini, para peserta diskusi juga diajak untuk turut berkontribusi dalam menandatangani petisi agar segera disahkannya Undang Undang tersebut. Sebenarnya seperti yang diucapkan oleh koordinator advokasi CIQAL, Ibnu Sukoco, bahwa pada tahun 2016 Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) ini sudah masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun hingga di ujung tahun 2016, pada bulan Desember, belum ada perkembangan yang signifikan.
"Penghapusan kekerasan seksual ini sudah masuk di Prolegnas tahun 2016, dan konon katanya pada peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan pada bulan Desember tahun 2016 ternyata ibarat pagi hari, sinar matahari itu belum merongrong kelihatan begitu" ungkap Ibnu. Perkembangan sejauh ini, pada tahun 2017 Rancangan UU tersebut sudah masuk hingga ke Badan Legislasi (Baleg), namun belum diketahui kapan Undang Undang tersebut akan disahkan.
"Kita perlu menghadirkan Undang Undang khusus untuk penghapusan kekerasan seksual, karena selain dari sisi jumlah, yang dari waktu ke waktu tidak semakin kecil, dan tentu saja yang terpenting adalah proses hukumnya yang masih belum bisa sepenuhnya berjalan." Ungkap Sarimurti Widyastuti ketika menjadi pembicara dalam diskusi publik ini.
Selanjutnya, disisi lain, korban seperti kaum disabilitas dan perempuan masih ditempatkan pada situasi yang sulit dalam memperoleh keadilan, demikian juga pelaku yang sulit dijangkau seperti halnya pelaku yang memiliki power.
"Apalagi kalau pelakunya punya power, entah power politik, power ekonomi, itu sering kali dalam tanda kutip menghambat juga untuk bisa melakukan penyidikkan" lanjut Sarimurti.
Merujuk dari kalimat tersebut, kita mengetahui bahwa di daerah Wonosari, Yogyakarta sempat ada kejadian dimana seorang perempuan umur belia dipaksa menikah oleh seorang anggota dewan yang terhormat, yang mana hal ini jelas melanggar peraturan perundangan, dan ketika diusut, orang yang memiliki powerpolitik ini jelas sulit untuk dijangkau, ditambah lagi keluarga dari korban didekati untuk diajak bernegosiasi.Â
Hal kompleks ini begitu mengiris hati, pihak keluarga bukannya mengajukan penolakkan, justru menyetujui hasil dari negosiasi tersebut. Tidak hanya itu, masih banyak kasus terkait kekerasan seksual terhadap Perempuan, misal kita ambil contoh tentang hubungan pacaran yang seolah-olah didasarkan pada kasih sayang, namun kenyataannya dominasi laki-laki dalam hasratnya untuk berhubungan sangat tinggi, dengan minimnya edukasi, jelas saat ini banyak perempuan yang membuang anaknya begitu saja, dengan berbagai alasan perempuan ini mengharapkan hasil dari "kecelakaan" ini dimusnahkan begitu saja.Â
Hal ini semakin miris ketika mengetahui proses hukumnya yang seolah malah menyalahkan korban, dari pihak kepolisian dalam penanganannya juga menunjukkan perlakuan yang tidak manusiawi, seperti ketika korban datang ke kantor polisi untuk melapor, korban yang sedang mengalami kepanikan ini masih ditanyai, dan ketika menjalani visum harus melewati perjalanan ke rumah sakit, belum selesai sampai disitu, korban masih dibawa kembali ke kantor polisi seusai visum untuk ditanyai lagi. Proses ini akan menjadi semakin sulit jika yang mengalami adalah kaum disabilitas.
Melihat banyaknya kasus yang serupa, dalam diskusi ini juga dipaparkan sosialisasi bahwa ketika masyarakat yang menghadapi seorang perempuan yang mengalami kejadian ini agar tidak segera melaporkan ke kantor polisi. Seperti yang diungkapkan oleh Sarimurti
"Saya menyarankan untuk pertama kali kalau di DIY, kenapa saya menyarankan jangan lapor polisi, karena jika lapor polisi dan polisinya tidak tanggap untuk segera minta visum, biasanya cepat hilang, lebih baik, datangi rumah sakit terdekat, apakah itu rumah sakit swasta, atau rumah sakit pemerintah, untuk menyampaikan bahwa ini tadi ada peristiwa seperti ini."
"Pihak rumah sakit yang biasanya akan menghubungi polisi, atau kalau misalnya perlu diingatkan ya tolong pak dibantu pak untuk lapor, itu akan membuat korban tidak perlu dibawa kesana kemari" lanjut Sarimurti.
Selain itu, terkait pembiayaan, pihak korban diharapkan tidak usah khawatir, karena sudah ada skema pembiayaan khusus, sebagai bentuk jaminan pemerintah DIY terhadap korban kekerasan.
Dalam hal hukum butuh beberapa pertimbangan agar pengukuhan ini tidak menjadi bumerang. Dalam sistem hukum terdapat 3 pilar penting, yang pertama adalah legal substance, yang kedua legal structure, dan yang ketiga adalah legal culture yang mana ketiga pilar ini sangat penting untuk diperhatikan, agar dapat melihat dari ketiga pilar tersebut, mana hal yang paling lemah untuk bisa segera dibenahi dan menjadi peraturan yang bisa memberikan perlindungan terhadap perempuan dan masyarakat disabilitas ini.
Sarimurti dalam diskusinya memaparkan 3 poin dalam upaya untuk menghapus kendala yang menghambat kesamaan kedudukan di depan hukum.
Pertama, harus dilakukan langkah dan tindakan untuk merealisasikan hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disabilitas, kesenjangan, dan keadaan yang merugikan perempuan
Kedua, harus dilakukan langkah dan tindakan untuk melakukan perubahan lingkungan sehingga perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan dalam akses, dan persamaan hak dalam menikmati manfaat dan peluang yang ada.
Ketiga,mewajibkan negara untuk menetapkan kebijakan, dan langkah-langkah berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan kesempatan baik itu laki-laki dan perempuan, kesetaraan dalam akses, kemudian juga persamaan hak dalam menikmati manfaat dan juga persamaan hak hukum dalam kewarganegaraan dan seterusnya.-RNK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H